Wajahnya bak bintang K-Pop yang sedang populer saat ini. Ia mempesona semua orang. Sikapnya terlihat seolah terskenario dengan baik. Senyumannya membuat para wanita histeris bak mendapat durian runtuh. Sahabat-sahabat kantornya pun tak lupa memanggilnya Mr. Smile.
Semua orang mengagumi ketampanannya. Semua orang tak henti-hentinya memuji kemurahsenyuman dan keramahannya. Semua orang termasuk keluargaku tak hentinya berbisik, "Nak, beruntung sekali kamu memiliki suami setampan dan seramah dia."
Akulah istri lelaki tampan ini. Akulah istri lelaki yang mempesona kalian ini. Namun, tahukah kalian apa yang ia lakukan terhadapku? Tahukah kalian apa yang ia lakukan dalam biduk rumah tangga kami? Dengarkanlah wahai kawan. Inilah si tampan yang kalian puja itu.
Berawal dari sebuah kekaguman akan ketampanan fisiknya, kulabuhkan cinta pertamaku. Sepenuh hati kuberikan pada lelaki tampan ini.
Aku percaya dengan keramahan dan kelembutan dirinya. Ia tak pernah sedikitpun menyakiti hatiku. Aku percaya padanya. Sangat percaya. Tiada celah keburukan sifatnya di mataku. Ia sangat sempurna untukku.
Setelah menjalin kasih hampir setahun, kami pun sepakat untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius, yaitu pernikahan. Bahagia sekali merayakan cinta dengan pernikahan. Kebahagiaan terpancar jelas di wajah keluarga kami.
Begitu pula di wajah suamiku. Aura ketampanannya semakin cemerlang. Ia terlihat semakin tampan saja. Aku bahagia sekali. Tak bosan-bosannya aku memandang pancaran kebahagiaan di wajahnya. Akulah pengagum beratnya.
Sebulan pun berlalu, tiada yang berubah dengan kebahagiaan kami. Kami tetap menjadi pasangan bahagia. Semuanya baik-baik saja. Aku tetap menjalankan dua peran, sebagai seorang wanita karier dan seorang istri yang melayani suaminya. Aku bahagia menjalankan kedua peran ini. Karena memang suamiku yang memintanya agar aku tetap bekerja.
Hingga suatu malam, tepat dua bulan usia pernikahanku. Entah kenapa tiba-tiba ia marah besar kepadaku. Segala nama hewan keluar dari mulutnya. Wajah tampannya yang kupuja berubah menjadi monster yang sangat menyeramkan. Dan tak akan pernah kulupakan "plak" suara pipiku yang dipukul tangannya.
Aku meringkuk sendirian memeluk lutut tirusku di salah satu sudut rumahku. Aku masih memakai dres pakaian kantorku. Semuanya serba tiba-tiba. Terbayang semua yang terjadi padaku.
Aku seperti sedang memasuki sebuah lorong waktu yang sangat gelap, pengap dan tiada berujung. Aku berjalan sendirian tanpa cahaya setitik pun.
Aku berharap ini hanyalah sebuah mimpi burukku. Dan aku berharap agar segera bangun dari mimpi buruk ini.
Lelaki itu entah dimana, aku tak tahu. Namun, aku terlalu takut untuk berdiri. Aku takut ia akan memukul dan mencaciku kembali. Aku sangat takut.
Ya Alloh, aku berharap ini hanyalah mimpi. Aku tak habis pikir, semuanya hanya masalah sepele. Sangat sepele. Aku terlupa jika hari ini adalah hari ulang tahunnya. Hanya karena ini. Lalu, pantaskah aku dicampakkan, dihinakan, dicaci maki dan dipukuli?
Aku tak habis pikir, lelaki setampan dan semempesona seperti dirinya bisa berlaku kejam terhadapku. Dimanakah kemanisan budinya yang karenanya ia dipuja? Dimanakah keramahan yang selama ini ia tunjukkan pada semua orang? Dimanakah senyuman manisnya yang selalu ia bagikan pada semua orang?
Aku menangis dalam diam. Air mataku deras tiada henti. Aku menangisi nasibku. Perih nian hatiku. Aku terluka sekali. Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Mengapa Alloh memberikan cobaan seperti ini kepadaku? Apa salahku Ya Alloh? Apa salahku?
Aku mengguguk pilu. Aku merasa rapuh dan ringkih. Tak ada yang menolongku. Tak ada yang meraih tanganku agar aku bisa bangkit. Tak ada yang tahu keadaanku selain aku, Tuhan, dan dia, lelaki itu.
Kumandang adzan subuh mengagetkanku. Kudengarkan bait demi bait suara sang muadzin. Ces. Jiwaku segar laksana bermandikan air es di pagi hari. Kupaksakan meluruskan kakiku yang semalaman meringkuk. Akhirnya aku bisa bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Kusiramkan air dingin sang malam tanpa kubuka pakaianku. Aku tak peduli.
Sekilas kutatap bayang wajahku dalam cermin buram kamar mandiku. Terlihat pipi kiriku bengkak membiru. Sakit sekali saat kusentuh. Di sudut bibirku terlihat bekas darah. Kembali aku menangis pilu. Kubiarkan shower mengucur deras menyatu bersama air mataku.
Hampir sejam lebih aku berdiam diri di kamar mandi. Setelah air mataku tak menyisakan lagi air mata, aku pun bangkit menuju kamarku.
Terdengar dengkuran lelaki itu. Dengan mengendap-endap kuambil pakaianku. Perlahan kuganti pakaianku dan kupakai pula pakaian sholatku.
Tak seperti biasanya sholatku begitu khusuk. Entahlah, mungkin begitulah sifat manusia. Saat senang lupa pada Tuhannya dan saat sedih barulah ingat pada Tuhannya. Aku menyadari jauhnya diriku dari Alloh.
Tak henti-hentinya aku berdo'a agar Alloh membebaskanku dari malapetaka ini. Dan berdoa agar menyelamatkan rumah tanggaku. Rasanya aku tak sanggup jika pernikahanku yang seumur dua bulan ini harus diisi dengan sikap ringan tangan suamiku.
Seperti biasa kusiapkan sarapan pagi sebelum ia bangun pagi. Aku mencoba bersikap biasa seolah tak ada peristiwa semalam. Ia pun hanya diam saat melewatiku untuk mandi. Begitu pun saat ia duduk untuk sarapan pagi. Aku pun duduk di sampinya. Mencoba bersikap biasa.
Lalu, "brak" Tiba-tiba ia menggebrak meja dan menjambak rambutku. "Lu memang istri b***sat, a***ng. Gua kan sudah bilang jangan pernah lupa lalapan kesukaan gua. Lu b**o." Ia melepaskan jambakannya dan "plak" menampar pipiku kembali. Suara ampunku tak ia pedulikan.
Aku mengguguk pilu, menggerung-gerung menangisi nasib malangku. Terdengar suara keras pintu ditutup. Lelaki itu telah pergi, membiarkanku terluka.
Hanya karena sebilah petai tak ia temukan di meja makan, pantaskah aku dicampakkan, dihinakan, dicaci maki dan dipukul?
Bak kilatan cahaya, tiba-tiba aku teringat Rara, salah seorang adik perempuanku. Ia-lah seorang yang tidak setuju dengan pilihan hatiku untuk menikah dengan suamiku sekarang.
Sejak pertama kali aku mengenalkannya kepada keluargaku, semuanya memujinya kecuali Rara. Ia mewanti-wantiku agar tidak terbius dengan ketampanan fisik dan mengunggulkannya di atas sikap beragamanya.
Dan ia dengan berbisik lirih kepadaku, "Kak, aku menemukan sorot mata yang aneh dari matanya. Nampaknya banyak rahasia yang belum kakak tahu. Kakak harus istikhoroh dulu. Memohon petunjuk pada Alloh."
Mendengar bisikannya aku hanya tertawa riang. Dan kukatakan, "De, kamu su'udhon saja. Buat kakak dialah lelaki impian kakak selama ini. Dialah lelaki yang selama ini kakak cari-cari."
Adikku adalah seorang wanita yang sangat cantik. Dan semakin cantik dan anggun saat ia memakai jilbab. Berkali-kali ia mengingatkanku agar berbusana muslimah.
Teringat semua nasihat adikku membuatku semakin nelangsa. Kembali aku menangis pilu. Semua ini ternyata salahku. Ini salahku. Aku yang memilih dia, aku pula yang harus menanggung kesalahan pilihanku.
"Ampuni aku Ya Alloh.." Lirihku berdo'a.
( To be continued... )

Komentar