Aku ingin menangis sejadi-jadinya. Begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepadaku. Entah itu kelancaran rezeki melalui usaha klinik istriku ataupun keselamatan dan kesehatan ragaku. Namun, amalku masih segitu-gitu saja.
Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku merindukan sosok laki-laki yang berkarakter sholih. Betapa seringnya aku bermalas-malasan dalam beribadah. Berat kaki tuk melangkah. Kadang ketika kupaksakan, aku merasa seperti mayat hidup tanpa jiwa.
Terkadang, aku harus menggedor-gedor pintu hatiku agar aku sadar dan fokus. Namun, seolah ada tembok tebal yang menghalangi diriku dari kesadaran penuh. Aku terperangkap dalam lingkaran kebiasaan buruk yang tak kunjung bisa kubebaskan diri darinya.
Malam itu, aku duduk di sudut kamar, merenung tentang hidupku. Istriku, yang selalu sabar dan penuh kasih, sedang tertidur lelap di sampingku. Aku memandang wajahnya yang damai, dan tiba-tiba rasa bersalah menyergapku. Mengapa aku tak bisa menjadi suami yang lebih baik untuknya? Mengapa aku tak bisa menjadi lelaki yang sholih, yang bisa membimbingnya dalam kebaikan?
Aku pun memutuskan untuk memulai perubahan. Aku tahu bahwa perubahan besar harus dimulai dari langkah-langkah kecil. Esok paginya, aku bertekad untuk bangun lebih awal dan memulai hari dengan sholat subuh berjamaah di masjid. Ini adalah langkah pertama yang akan kulakukan.
Pagi itu, ketika adzan subuh berkumandang, aku memaksakan diri untuk bangun. Rasa kantuk masih menyelimuti, tetapi aku mengabaikannya. Dengan langkah berat, aku menuju kamar mandi untuk berwudhu. Air dingin membasuh wajahku, memberikan kesegaran dan semangat baru. Aku mengenakan baju koko dan sarung, lalu melangkah keluar rumah.
Masjid masih sepi ketika aku tiba. Hanya ada beberapa orang tua yang tengah khusyuk berdoa. Aku mengambil tempat di saf depan dan menunggu imam memulai sholat. Saat sholat dimulai, aku mencoba untuk khusyuk. Namun, pikiran-pikiran duniawi masih berusaha menyelinap. Aku berjuang keras untuk mengabaikannya dan fokus pada ibadahku.
Selesai sholat, aku merasa sedikit lega. Ini adalah langkah kecil, tetapi berarti. Aku berdoa kepada Allah agar diberikan kekuatan dan konsistensi dalam beribadah. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Tetapi, aku bertekad untuk terus berusaha.
Hari-hari berikutnya, aku terus berjuang melawan rasa malas. Aku mulai rutin mengikuti kajian di masjid dan berusaha memperdalam ilmu agamaku. Aku juga lebih sering berkomunikasi dengan istriku, membicarakan hal-hal yang selama ini jarang kami bicarakan, seperti rencana masa depan dan harapan-harapan kami.
Istriku mendukung sepenuh hati. Ia menyemangatiku setiap kali aku merasa down. Perlahan, aku merasakan perubahan dalam diriku. Aku menjadi lebih sabar, lebih tenang, dan lebih ikhlas dalam menjalani hidup. Amalku pun semakin bertambah, meskipun aku tahu masih banyak yang perlu diperbaiki.
Suatu malam, saat kami duduk berdua di teras rumah, aku berbicara dari lubuk hatiku. "Maafkan aku, Sayang, selama ini aku belum bisa menjadi suami yang baik. Aku berjanji akan terus berusaha memperbaiki diri."
Istriku menggenggam tanganku erat. "Aku selalu mendukungmu, Mas. Aku tahu kamu bisa. Kita akan menjalani semua ini bersama-sama."
Dalam pelukan hangatnya, aku merasa kekuatan baru. Aku tahu, perjalanan menuju kesholihan adalah perjalanan panjang. Tetapi, dengan dukungan istri dan pertolongan Allah, aku yakin bisa menjadi lelaki yang lebih baik. Langkah demi langkah, aku akan terus berusaha.
Komentar