Dalam medan perang, segala kemungkinan bisa terjadi, termasuk tindakan pembunuhan yang sadis dan kejam. Begitulah realitas perang. Kekejaman yang luar biasa mengerikan tampaknya dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dalam situasi tersebut.
Bahkan, mungkin kita pun bisa terjerumus ke dalam tindakan keji akibat tekanan psikologis yang tak terkendali. Dalam keadaan dibunuh atau membunuh, apalagi jika orang tua kita, saudara-saudara kita, istri, atau anak-anak kita dibunuh secara kejam dan sadis, segalanya bisa berubah menjadi gambaran nyata yang mengerikan di medan perang.
Kita di Indonesia, beruntungnya, tidak pernah benar-benar merasakan situasi perang dengan kekejaman dan beban psikologis yang luar biasa dahsyat seperti itu. Hanya para pejuang kemerdekaan yang mungkin masih mengingat betapa mencekamnya pengalaman berperang.
Oleh karena itu, aku tidak akan pernah mencoba membawa konflik Suriah, Irak, atau keberadaan ISIS ke dalam perspektifku sebagai warga Indonesia yang hidup dalam kedamaian. Terlalu naif jika aku bersikap sok tahu dan memvonis mereka yang sedang berperang dengan menggunakan kacamata kedamaian yang tidak pernah mengenal pengalaman perang.
Terkadang, kita perlu mawas diri, berhenti sejenak, dan merenungi berbagai hal yang terjadi di dunia global ini. Sejak dulu, media telah menjadi alat propaganda yang menciptakan opini publik. Sekali kita terpengaruh oleh media, yang terjadi adalah gelap mata dan egoisme, seolah-olah kitalah pemegang kebenaran mutlak.
Teori konspirasi itu ada, dan memang terjadi. Dan tanpa sadar, kita sering kali terlibat di dalamnya. Fenomena pelarangan ISIS di berbagai negara telah menjadi alat kekuasaan untuk menelikung gerakan Islam lainnya. Begitu mudahnya orang mendapatkan cap ISIS, hanya karena jenggot, celana yang ngatung, cadar, atau karena memajang bendera bertuliskan kalimat tauhid. Pelarangan ISIS menjadi bola liar yang menghantam aktivis dan gerakan Islam lainnya. Hidup memang harus dijalani dengan cerdas, terutama dalam menyikapi media yang, faktanya, bukan dimiliki oleh kaum Muslimin.
Aku setuju dengan redaksi Eramuslim bahwa alangkah baiknya kita tidak langsung memvonis sebuah situasi yang kita sendiri tidak termasuk di dalamnya. Ya, benar, aku tidak sedang atau dalam keadaan berperang. Pertanyaannya, mengapa aku harus memvonis orang-orang yang sedang berperang?
Sekali lagi, jika kita tidak pernah kehilangan saudara, orang tua, istri, atau anak yang dibunuh secara kejam dan sadis serta terperangkap dalam peperangan, sebaiknya kita tidak memvonis orang-orang yang secara psikologis terobsesi oleh dendam dan terlibat dalam peperangan yang konsekuensinya adalah dibunuh atau membunuh.
Diam dan bercermin diri terkadang lebih baik daripada kita yang mudah termakan oleh propaganda media ini berkoar-koar seperti mujahid kesiangan yang sok paling manusiawi.
Kejam memang tetaplah kejam. Kita semua membencinya, dan itu adalah reaksi yang normal. Namun, dalam kondisi peperangan, apapun bisa terjadi. Kita tidak pernah tahu, dan kita tidak pernah mengalaminya. Yang kita tahu, media selalu menyajikan kekejaman orang-orang Islam. Itu saja. Dan ironisnya, tanpa sikap kritis, kita pun mengangguk-angguk tanda setuju dan mengamini semua yang disajikan. *Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.*
**Melangkah Lebih Jauh**
Namun, apakah ini berarti kita harus pasrah pada narasi yang disuguhkan kepada kita? Tentu tidak. Justru di sinilah pentingnya pendidikan, pemahaman, dan kebijaksanaan dalam menganalisis situasi dunia yang kian kompleks ini. Kita perlu mengedukasi diri, mengakses informasi dari berbagai sumber, dan membuka dialog dengan berbagai pihak untuk memahami kenyataan yang ada.
Dalam situasi yang serba sulit ini, apa yang bisa kita lakukan sebagai individu yang hidup dalam kedamaian? Barangkali, kita bisa mulai dengan menanamkan kesadaran bahwa dunia ini lebih rumit dari yang terlihat di permukaan. Bahwa setiap tindakan memiliki alasan dan latar belakang yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya. Dan bahwa empati, dalam bentuknya yang paling murni, adalah mencoba melihat dunia dari perspektif orang lain, tanpa kehilangan pegangan pada nilai-nilai kemanusiaan yang kita yakini.
Kita juga harus menyadari bahwa media memiliki kekuatan besar dalam membentuk opini publik. Maka, alangkah baiknya jika kita tidak hanya menjadi konsumen pasif dari informasi yang disuguhkan, tetapi juga menjadi penilai yang kritis, yang tidak mudah terombang-ambing oleh arus pemberitaan.
Sebagai Muslim, kita diajarkan untuk selalu mencari kebenaran dan tidak terjebak dalam fitnah. Kita diajarkan untuk berbuat adil, bahkan kepada musuh sekalipun. Maka, tugas kita adalah menggali lebih dalam, memahami lebih banyak, dan bersikap lebih bijaksana. Jika kita ingin dunia menjadi tempat yang lebih baik, kita harus memulainya dari diri sendiri, dengan memahami kompleksitas hidup ini dan tidak mudah terperdaya oleh penilaian-penilaian yang sempit.
Di saat yang sama, kita harus ingat bahwa meskipun kita berada jauh dari medan perang, kita tetap memiliki tanggung jawab untuk berdoa, untuk mereka yang terjebak dalam situasi yang tak terbayangkan oleh kita. Kita juga harus bersyukur atas kedamaian yang kita nikmati dan berupaya menjaga agar kedamaian itu tidak terancam oleh sikap-sikap yang tidak bijaksana.
Hidup memang naif, jika kita hanya melihatnya dari satu sisi. Tetapi, dengan membuka mata, hati, dan pikiran, kita bisa melangkah lebih jauh, menjadi pribadi yang lebih bijaksana, lebih memahami, dan lebih kuat menghadapi kenyataan dunia yang penuh tantangan ini.
Komentar