Semilir angin malam segarkan raga ringkihku yang lelah. Kusandarkan punggungku yang mulai meliuk seiring menuanya usiaku, di atas kursi taman belakang rumahku. Tak kusangka waktu berjalan begitu cepatnya bak anak panah lepas dari busurnya.
Esok nanti, tepat usiaku tujuh puluh tahun hidup di dunia ini. Rumahku mulai ramai teriakan riang anak cucuku. Bahagia rasanya melihat rona bahagia di mata mereka. Namun, sekeping hatiku terbang tinggi bersama hembusan angin malam. Aku merindukan mendiang istriku. Aku kesepian...
Hampir setahun ia membiarkanku dalam kesendirian. Ia telah terbebas dari himpitan keperihan hidup dan siksaan kenangan. Ah, mungkin beginilah siksaan yang diterima setiap jiwa dan raga tua. Terbelenggu dalam kenangan-kenangan. Memang, di usia tua bukan lagi mengejar kenikmatan duniawi tapi memburu kenikmatan jiwa...
Tidak mudah melepaskan segala kenangan selama empat puluh tahun bersamanya. Masih terbayang indah saat pertama kali berjumpa dengannya. Keanggunannya memagut dan memikat hatiku. Serasa baru kemarin. Ah, siksaan kenangan sungguh terlalu.
Sifat waktu memang terkadang tidak terasa bagi jiwa yang tidak memperhatikannya. Seolah baru kemarin, ternyata sudah puluhan tahun. Dan waktu terasa sangat lambat bagi jiwa yang sedang menunggu seseorang. Begitulah sang waktu.
Malam semakin larut, alarm ipadku sudah berdenting berkali-kali. Terlihat jam sebelas malam. Kutarik nafasku sedalam-dalamnya, mencoba menyegarkan jiwaku yang sepi.
Terdengar langkah lirih di belakangku. Seorang cucuku menghampiriku, Syahid.
"Eyang, sedang apa di sini? Istirahat dulu, Eyang. Tidak baik buat kesehatan." Nada cucuku terasa begitu khawatir.
Di antara belasan cucuku hanya Syahid yang ikut tinggal bersamaku. Ia masih kuliah semester 5 di sebuah kampus negeri di Salemba. Terkadang saat melihat semangat belajarnya, aku seperti melihat diriku sendiri di masa muda. Ia pun nampak gagah sekali. Mungkin kamu berminat?
Aku hanya tersenyum simpul dan tak menjawab pertanyaannya. Ia pun melangkah mendekatiku. Dan tanpa kuperintah ia memijati bahuku.
"Serasa baru kemarin, Eyang. Biasanya jam segini Eyang putri minta dipijat."
Aku hanya mendesah berat mendengar nada rindu cucuku. Kutarik nafas sedalam-dalamnya. Mendiang istriku meninggalkan kesan mendalam bagi setiap orang yang mengenalnya.
"Oh iya Eyang, kalau aku boleh tahu, dulu pertama kali bertemu eyang putri dimana ya Eyang?"
Aku terdiam sesaat. Mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan memori tentangnya. Tentang Mutiara Yashinta. Istriku.
"Kira-kira lima puluh tahun yang lalu....."
---***---
Aku harus menerima kenyataan saat aku harus meninggalkan Jakarta. Meninggalkan kuliahku. Menyeruak keharuan yang begitu dalam hadir dalam jiwa mudaku. Terpaksa. Aku harus sembuh. Akalku rusak parah. Aku tahu kerusakannya dimana, dan aku pun tahu obatnya apa.
Terdengar denting jam dinding tiga kali. Kutarik nafas dalam-dalam. Aku masih belum tidur. Karakteristik lelaki sholeh di waktu sepertiga malam ini seharusnya digunakan untuk qiyamul lail. Ah, untuk sholat wajib pun hatiku terasa berat. Hmhm.. Sudah lama aku meninggalkan ibadah wajib seorang muslim.
Hati kecilku terbetik jika apa yang telah kulakukan adalah kesalahan. Tapi, di balik setitik cahaya kesadaranku tak kuasa menahan gejolak rasa akalku yang lebih dominan menguasai diriku. Semuda ini aku telah mengalami fase pertarungan pemikiran yang sangat melelahkan jiwaku.
Aku merasa tersudut dalam dua kutub pemikiran. Aku hanya ingin memilih satu kutub saja, yang akan membuat jiwaku tidak galau dan kering kerontang seperti saat ini.
Kutatap sebuah buku karangan Nasr Hamd Abu Zaid. Banyak informasi sakti yang kudapatkan dari buku itu. Bukan aku tidak tahu jika buku ini dikategorikan buku sesat dan murtad di Mesir sana. Aku tahu. Justru karena tahu itulah aku tertarik mengkajinya.
Ekor mataku pun menatap setumpuk majalah Islamia. Majalah intelek para cendekiawan muda komunitas Insist. Komunitas pemikir yang sedang menimba ilmu di ISTAC - IIUM Malaysia. Sungguh aku merasakan betapa kuatnya gejolak dua arus pemikiran yang ingin menakhkodai jiwaku, hidupku.
Buku Nasr Hamd Abu Zaid plus buku-buku se-pemikiran dengannya mewakili sudut kiri dan majalah Islamia beserta buku-buku sepemikiran dengannya mewakili sudut kanan jiwaku. Hanya ada dua pilihan bagiku. Menjadi liberalis tulen atau menjadi revivalis modern.
Begitulah keadaanku sekarang, di usiaku yang ke dua puluh. Jiwaku mengalami kegalauan yang luar biasa. Kering terasa jiwaku. Aku ingin memiliki jiwa muda yang damai, yang tenang.
Dan akhirnya luluh sudah jiwaku. Aku mengalami titik nadhir betapa lelahnya jiwaku. Aku ingin menjadi seorang laki-laki sholeh secara jiwa dan pemikiran. Aku lelah...
Sebuah iklan di majalah Sabili menjadi titik awal kerinduanku akan ketenangan jiwa. Aku rindu akan nikmatnya sholat, seperti dulu. Dulu sekali, seperti kisah militansi SMA dulu.
Iklan tentang sebuah kampus berbeasiswa di Bogor sana. Kudiskusikan dengan teman sejatiku, Taufik, jika jiwaku sangat lelah.
Akhirnya, kuberanikan diri melangkah dengan sebuah pilihan untuk hidup di Bogor. Dan di antara ratusan pendaftar ada diriku di sana. Dan di antara dua puluh pendaftar yang diterima ada diriku pula di sana.
Memang terkesan aneh. Seorang lelaki muda korban pemikiran seperti diriku bisa diterima di banding ratusan pendaftar yang notabene memiliki kemampuan Arabic dan hafalan Quran. Strategiku hanya satu, kejujuran. Itu saja. Saat test interview kukatakan apa adanya jika aku ingin belajar, ingin menjadi lelaki sholeh. Hanya ini. Hanya itu.
Begitulah. Kehidupan baru sebagai mahasiswa ma'had syariah kujalani dengan tekun. Kehidupan yang belum pernah kualami sebelumnya. Mengkaji Alquran dan mengkaji Hadits menjadi aktivitas sehari-hari.
Tidak mudah menjinakkan keliaran akalku. Namun perlahan namun pasti jiwaku mulai luluh, apalagi sang mudir selalu mengingatkan kami, betapa beruntungnya kami menjadi bagian dari para penuntut ilmu.
Enam bulan berlalu begitu cepatnya. Jenuh dan bosan memang selalu mengiringi jiwa manusia. Begitu pula dengan diriku. Setiap hari hanya asrama dan kelas. Buku dan buku. Betapa rindunya jiwaku dengan suasana dunia kampus. Aku ingin sejenak menikmati udara kampus. Tiada tempat lain di Bogor ini selain IPB tempatnya.
Di tengah terik siang, akhirnya tiba jualah di IPB Dramaga, itupun setelah bertanya sana-sini. Satu hal yang kutahu tentang IPB adalah Mesjid Alhuriyyah. Aku pun segera mencari mesjid kampus pencetak aktivis itu. Damai rasanya di saat terik lalu berteduh di Alhuriyyah.
Di antara ribuan mahasiswa-mahasiswi IPB yang kutemui tak ada satu pun yang kukenal. Aku merasa wajah-wajah mereka terkesan angkuh. Aku pun enggan untuk bertanya. Biarlah akan kucari Alhuriyyah sendirian saja.
Gedung demi gedung dan hutan demi hutan kulewati tanpa kutemui sebuah mesjid. Handphone tuaku sudah menunjukkan hampir pukul empat. Tragis. Berjam-jam berputar-putar tiada hasil yang ada malah betapa pegal dan lelahnya kaki dan lututku.
Tak pernah kukira IPB begitu ganas dan kejam. Tak ada gedung berlantai tujuh seperti kampusku yang di Jakarta. Pohon dan pohon yang kutemui. Mengerikan. Duuuh, lelah nian. Aku terlambat sholat Ashar. Itulah keluhku saat beristirahat sejenak di tangga sebuah taman.
Aku berharap ada seseorang yang kukenal datang menolongku. Harapku bisa bertemu teman-teman SMA-ku yang kuliah di sini. Ahmad NP, Yuda, Windu, Astrid, Shinta, Irma dan Wily. Pastinya akan kutemui paras-paras ramah sahabat lamaku. Sungguh sayang, mereka tidak tahu jika aku tersesat di kampus mereka.
Lamat-lamat terdengar suara beberapa orang sedang menuju ke tempatku. Aku sangat berharap salah seorang di antara mereka adalah sahabatku. Aku lelah dan haus juga lapar sekali. Saking semangatnya akan bertemu kampus, sejak pagi tadi aku tidak sempat sarapan.
Terlihat dua orang berjalan ke arahku. Ah, dua orang mahasiswi berkerudung. Aku masih berharap di antara mereka adalah sahabatku. Paras mereka masih belum terlihat jelas.
Aku terlupa akan pantangan para calon da'i adalah memandang wanita. Tanpa kusadari aku terus memandangi mereka. Laksana tersetrum aliran listrik begitu kuatnya. Pandangan mataku bertemu dengan sepasang mata berlian yang begitu indahnya. Saat itulah aku tersadar. Astaghfirulloh al-adzim.
Mereka berdua bukan sahabatku. Kutundukkan wajah muramku begitu dalam dan membiarkan mereka melewati diriku. Aku mendengar mereka berbisik tentangku. Apa yang harus aku lakukan? Keadaanku mendesak, aku belum sholat ashar. Tapi, jika aku harus bertanya pada mereka berdua, terutama pada pemilik sepasang mata berlian itu, rasanya aku tak sanggup. Aku tak kuat menahan gelora masa mudaku. Aku tak yakin mampu bertahan.
Ah, keadaanku kritis. Demi Asharku, aku harus kuat. Bismillah.. Ku ikuti langkah mereka yang masih belum jauh melewatiku.
to be continued...
******----******
Dawai cinta pun bersemi bersama semilir angin senja di sebuah taman IPB. Dulu. Dulu sekali. Lima puluh tahun yang lalu...
Sebait lirih sunyi kuhaturkan padamu di balik bara rindu yang membakar jiwa mudaku...
Komentar