Analisis
Letak Permasalahan atau
ketergunjangan dari
pernyataan tersebut
adalah adanya subjek
“Tuhan” , sekaligus adanya
sifat Maha yang tergugat
oleh proposisi tersebut–
yang oleh karenanya aku
lebih suka mengganti
subjek tersebut menjadi
seorang Superman, anda
bisa juga mengganti
dengan subjek lainnya
semisal Superwoman,
Ultraman, atau Paijo, atau
Tukinem, atau bahkan
nama anda sendiri–. Jika
kita membaca proposisi
tersebut Ke-Maha Kuasa-
an yang diikuti oleh “tidak
kuasa mengangkat batu”
menjadikan suatu
kesalahan atau kelemahan
atas Ke-Maha Kuasa-an itu
sendiri. Jika Paijo sanggup
membuat batu maha besar
(ia maha kuasa) namun
syaratnya ia tidak sanggup
mengangkat batu (ia tidak
maha kuasa). Jika paijo
sanggup mengangkat batu
(ia maha kuasa), namun
itu berarti Paijo tidak
sanggup membuat batu
yang maha besar ( ia tidak
puasa). Berarti Ke-Maha
Kuasa- tidak akan pernah
menjadi milik Paijo. Paijo
hanyalah seorang
pembual jika mengatakan
dirinya Maha Kuasa.
Lambat laun dengan
beberapa diskusi atau
debat, aku menemukan
sebuah jawaban yang
cukup “menyejukkan
keimananku” saat itu atas
proposisi atau problem
diatas (jika anda melihat
proposisi tersebut sebagai
sebuah problem, jika tidak,
silahkan jangan teruskan
pembacaan atas artikel
pendek ini). Jawaban itu
muncul berdasarkan suatu
kriteria kesalahan linguistik.
Proposisi seperti diatas
merupakan suatu
kesalahan proposisi atau
yang lebih dikenal dengan
contraditio in terminis
(kotradiksi dalam kata).
Maha Kuasa yang
kemudian diikuti dengan
ketidak kuasaan– yang
berarti saling menegasikan
atau berlawanan– tersebut
merupakan kesalahan
logika bahasa atau
linguistik. Dengan demikian
pernyataan itu sendiri atau
proposisi itu sendiri pada
dasarnya merupakan
sesuatu yang salah. Disini
yang digugat bukan lagi
Tuhan atau Paijo atau
Superman, tetapi
pernyataan itu sendiri.
Bukan Tuhan atau Paijo
yang salah atas pernyataan
itu tetapi Pernyataan dalam
dirinya sendiri (Proposisi
an sich) itulah yang salah.
Aku merasa bagi yang
memiliki keimanan tertentu
jawaban seperti ini sangat
melegakan bagi anda.
Apakah dengan penjelasan
diatas berarti sudah
terjawab semuanya? Bagi
Aku tidak. Implikasi dari
contraditio in terminis atas
pernyataan tersebut
tidaklah lalu berhenti
disitu. Dengan asumsi
bahwa kita menganggap
atau setuju bahwa
pernyataan tersebut
memiliki sifat kontradiksi
dalam dirinya sendiri, aku
akan menelusuri apa
konsekuensinya.
Kemungkinan terjadinya
kesalahan bahasa seperti
itu adalah istilah itu sendiri
yang salah. Contohlah
kontradiksi berikut ini: Aku
bisa menulis sekaligus
tidak bisa menulis. Dalam
kontek logika: Tidak
mungkin entitas atau
apapun memiliki sifat yang
belainan dalam waktu yang
bersamaan. Mustahil Anda
sedang membaca artikel ini
sekaligus, pada waktu yang
bersamaan, juga tidak
sedang membacanya,
walaupun anda
membacanya dengan
ogah-ogahan atau sambil
mengantuk, secara de
facto anda sedang
membacanya. Atau
mustahil anda sekarang
berada di Jogja sekaligus
anda berada di Jakarta
pada waktu yang
bersamaan.
Maha Kuasa merupakan
sebuah atribut sifat yang
dinisbahkan ke objek:
Tuhan, Superman, Paijo
atau yang lainnya. Dalam
dirinya sendiri kita bisa
menggunakan
kemustahilan dari contoh
membaca dan menulis
tersebut pada Maha Kuasa:
Maha Kuasa membuat
sekaligus tidak kuasa
mengangkatnya . Jelas ini
merupakan kesalahan.
Kesalahan dari hal ini
terletak pada istilah Maha
itu sendiri. Karena Maha
mencakup segalanya maka
kuasa itu dinibahkan atas
segala sesuatu, termasuk
mengangkat batu.
Bandingkan dengan
proposisi berikut: “Paijo
kuasa untuk membuat
sebuah batu besar
sehingga ia tidak kuasa
mengangkatnya ”. Karena
kuasa dalam hal ini tidak
diikuti oleh sifat Maha,
maka kalimat atau
proposisi tersebut tidak
terdapat kesalahan logika
bahasa, kuasa membuat
tidak mengharuskan untuk
kuasa mengangkatnya.
Anda bisa kuasa membuat
rumah sehingga anda
tidak kuasa
memindahkannya. Tidak
ada yang salah dengan
pernyataan seperti ini.
Kesalahan utama dari
proposisi,” Kalau Paijo
Maha Kuasa, maka Ia
kuasa membuat batu yang
maha besar sehingga Ia
tidak kuasa mengangkat
batu tersebut”, terletak
pada istilah Maha itu
sendiri. Dengan demikian
Maha tersebut merupakan
sebuah sifat yang pada
dasarnya mengandung
kontradiksi dalam dirinya
sendiri. Bukan pernyataan
itu yang mengandung
kontradiksi tetapi sifat atau
istilah Maha itu sendiri
yang mengandung
kontradiksi secara
linguistik.
Cooling Down
Istilah Maha bukan
beranjak dari realitas
pengalaman keseharian
kita, melainkan pada
keterkaguman metaforis
benak atau keimanan kita.
Hal ini membawa
konsekuensi bahwa setiap
entitas atau sesuatu yang
diembel-embeli dengan
sifat Maha akan
menciptakan kontradiksi-
kontradiksi bila dibawa ke
ranah proposisi atau
pernyataan yang berada
dalam wilayah keseharian
atau realitas sekeliling kita
(dunia empiris).
Solusi yang memungkinkan
dari penggunaan istilah
Maha tersebut ada dalam
bentuk metaforis atau
bahasa puitis. Ke-Maha-an
dalam kerangka metaforis
atau liris puitis akan
mampu ditangkap dalam
penafsiran yang bukan
mengandalkan analisis
logika linguistik atau logika
empiris. Dengan demikian
Ia tidak ditujukan untuk
menyentuh sensasi pikir
atau nalar kita tetapi
sensasi rasa dan kalbu kita
(logika rasa hati atau
intuisi): Apapun Entitas
Subjeknya.e
Published with Blogger-droid v2.0.1
Komentar