"Hey bangun!! Kayak orang buta aj lu merem mulu. Ongkosnya bos!" Suara lelaki kasar membangunkan lamunanku. Kondektur yang sangat kasar. Rasanya tidak ada satu pun gadis yang mau dengan laki-laki seperti ini. "Iya mas?" Sambil tersenyum ku arahkan suaraku pada sang kondektur. "Heh!!!" Terdengar seruan terperanjat sang kondektur kasar, mungkin dia kaget melihat diriku ternyata seorang tuna netra. Aku hanya tersenyum. Terdengar langkah sang kondektur menjauhi kursiku.
"Mas, sudah lewat mesjid istiqlal belum ya?" Aku bertanya pada laki-laki di sampingku. Tidak sulit menebak siapa yang duduk di sampingku. Walaupun lelaki ini diam, desahan nafasnya menunjukkan jenis kelaminnya. Aku juga bisa menebak kisaran usianya,ehmmm...mungkin 50 tahun..hehe...ini hanya tebakanku saja sebagai seorang tunanetra. Tentu saja tebakanku bisa jadi salah. Sangat wajar. Hanya mengandalkan insting rasa.
"Wah, udah lewat, Mas. Turun di sini aj, Mas. Gak terlalu jauh ko ke istiqlal" jawab laki-laki di sampingku ini. "Waduuuuuh...hehe...yawdah deh. Makasih pak." Ku raih tongkat perakku. "Pak supir turun di sini aj. Makasih pak" Sebelum turun ku titipkan ongkos metro mini pada si bapak td, tadi belum sempat ku bayar. "Bismillah wal hamdulillah." Ku ucapkan rasa bersyukurku atas selamatnya diriku bisa turun dari metro mini dan bersyukur sebentar lagi aku tiba ditujuanku, Mesjid Istiqlal.
Tersaruk-saruk ku langkahkan ketiga kakiku, satu kaki yaitu tongkatku menjadi guidenya. Mesjid istiqlal tadi terlewat, berarti aku harus berjalan mundur ke arah sebelumnya. Berkali-kali tongkatku laksana pedang, berbunyi "trang treng tong" tiap menyentuh pagar-pagar besi. Nampaknya pagar besi. Mungkin. Dan aku bingung sudah sampai mana aku berjalan.
"Ya Alloh tolonglah hamba-Mu ini." Berkali-kali aku berdo'a dan berharap ada seseorang bermurah hati menunjukkanku rute menuju mesjid istiqlal. Di tengah cuaca yang sangat panas diiringi bisingnya kendaraan kota jakarta benar-benar merusak indra pendengaranku. Sangat susah berjalan dengan kondisi seperti ini. Penglihatanku selain dengan tongkat tentu saja dengan telingaku. Peluh mulai membanjiri dadaku. Egoisnya kota Jakarta.
Allah Maha Mendengar do'aku. "Mas mau kemana?" Terdengar suara pemuda menegurku. Aku tersenyum kelu,"Saya mau ke istiqlal, Mas" Jawabku lesu. "Bareng saya aj mas, saya juga mau ke istiqlal." Laksana mendapat segunung emas, aku berseru bahagia,"Subhanallah wal hamdulillah wallohu akbar. Allah Maha Penolong. Maha Mendengar doa hamba-Nya." Aku tersenyum bahagia, "Ayo , Mas!" Ajakku penuh kebahagiaan.
Akhirnya, alhamdulillah setelah berjalan lumayan jauh sampai juga di mesjid istiqlal. Dari jauh terdengar keriuhan jama'ah mesjid. Ya hari ini istiqlal dikunjungi beberapa masyayikh dari timur tengah. Dan aku pun ingin ikut ambil bagian mereguk luasnya ilmu para masyayikh. Setelah menyimpan sandal, langsung saja aku berwudhu dan dilanjutkan sholat wudhu dan tahiyyatul masjid. Setelah bertanya jam berapa pada pemuda penolongku, ternyata kajian masih 1 jam lagi. Ah, tidak ada salahnya aku murajaaah beberapa hapalan quranku.
Aku tahu pengorbananku berlelah-lelah dan berpayah-payah akan berganti dengan cahaya ilmu yang nanti aku dapatkan. Semoga saja...
-------****--------
Sebagai tuna netra, aku benar-benar merasakan perlakuan diskriminasi dan disepelekan. Tapi.. ya sudahlah, aku tak ingin mengeluh tentang semua ini. Mungkin ini sikap wajar manusia melihat kondisi kekurangan kami, para tunanetra.
Aku yakin seyakin yakinnya,tidak ada manusia yang ingin hanya melihat kegelapan selama hidupnya. Begitu pun diriku, kalau memang bisa memilih aku pun ingin hidup normal seperti manusia lain, bisa melihat indahnya dunia. Perasaan muak dengan keadaan serba kekuranganlah yang dulu sempat kurasakan di masa remaja.
Kini, aku bahagia atas semua karunia Allah. Ya aku bersyukur atas ketunanetraan diriku.
Terlalu banyak hikmah dan kelebihan yang diberikan Allah kepada kami para tunanetra. Kekuatan hafalan adalah salah satunya. Dan kelebihan inilah yang ku gunakan untuk menghafal ribuan ayat alquran dan hadits. Dan aku sangat bersyukur. Mungkin bila mataku bisa melihat, bisa jadi dengan banyaknya kemudahan-kemudahan akan melalaikanku dari semangat hafalan alquran.
Buatku, dengan keadaanku ini sudah tak terhitung nikmat dan karunia Allah kepadaku. Sesunguhnya Allah tidak melihat rupa dan wajah kita, sesungguhnya Allah melihat hati-hati kita. Intinya ketaqwaan kita kepada Allah.
Aku hanya ingin mengingatkan kepada kalian yang memiliki kesehatan penglihatan, mari kita berlomba-lomba dalam kebajikan siapakah yang nanti di akhirat nanti yang akan melihat dengan seterang-terangnya penglihatan. Semoga kita beruntung..
Dan terakhir, walaupun selamanya diriku di dunia melihat dalam kegelapan sesungguhnya aku melihat betapa indahnya dunia yang dikaruniakan kepadaku. paling terakhir, walaupun di dunia aku selalu melihat kegelapan, aku berdo'a semoga di akhirat nanti aku bisa melihat wajah Allah Yang Maha Indah. Amin.
(Djakarta, mlm sabtu,mlm gajian,25 feb 2012, jam 02.59..hehe..)
"Mas, sudah lewat mesjid istiqlal belum ya?" Aku bertanya pada laki-laki di sampingku. Tidak sulit menebak siapa yang duduk di sampingku. Walaupun lelaki ini diam, desahan nafasnya menunjukkan jenis kelaminnya. Aku juga bisa menebak kisaran usianya,ehmmm...mungkin 50 tahun..hehe...ini hanya tebakanku saja sebagai seorang tunanetra. Tentu saja tebakanku bisa jadi salah. Sangat wajar. Hanya mengandalkan insting rasa.
"Wah, udah lewat, Mas. Turun di sini aj, Mas. Gak terlalu jauh ko ke istiqlal" jawab laki-laki di sampingku ini. "Waduuuuuh...hehe...yawdah deh. Makasih pak." Ku raih tongkat perakku. "Pak supir turun di sini aj. Makasih pak" Sebelum turun ku titipkan ongkos metro mini pada si bapak td, tadi belum sempat ku bayar. "Bismillah wal hamdulillah." Ku ucapkan rasa bersyukurku atas selamatnya diriku bisa turun dari metro mini dan bersyukur sebentar lagi aku tiba ditujuanku, Mesjid Istiqlal.
Tersaruk-saruk ku langkahkan ketiga kakiku, satu kaki yaitu tongkatku menjadi guidenya. Mesjid istiqlal tadi terlewat, berarti aku harus berjalan mundur ke arah sebelumnya. Berkali-kali tongkatku laksana pedang, berbunyi "trang treng tong" tiap menyentuh pagar-pagar besi. Nampaknya pagar besi. Mungkin. Dan aku bingung sudah sampai mana aku berjalan.
"Ya Alloh tolonglah hamba-Mu ini." Berkali-kali aku berdo'a dan berharap ada seseorang bermurah hati menunjukkanku rute menuju mesjid istiqlal. Di tengah cuaca yang sangat panas diiringi bisingnya kendaraan kota jakarta benar-benar merusak indra pendengaranku. Sangat susah berjalan dengan kondisi seperti ini. Penglihatanku selain dengan tongkat tentu saja dengan telingaku. Peluh mulai membanjiri dadaku. Egoisnya kota Jakarta.
Allah Maha Mendengar do'aku. "Mas mau kemana?" Terdengar suara pemuda menegurku. Aku tersenyum kelu,"Saya mau ke istiqlal, Mas" Jawabku lesu. "Bareng saya aj mas, saya juga mau ke istiqlal." Laksana mendapat segunung emas, aku berseru bahagia,"Subhanallah wal hamdulillah wallohu akbar. Allah Maha Penolong. Maha Mendengar doa hamba-Nya." Aku tersenyum bahagia, "Ayo , Mas!" Ajakku penuh kebahagiaan.
Akhirnya, alhamdulillah setelah berjalan lumayan jauh sampai juga di mesjid istiqlal. Dari jauh terdengar keriuhan jama'ah mesjid. Ya hari ini istiqlal dikunjungi beberapa masyayikh dari timur tengah. Dan aku pun ingin ikut ambil bagian mereguk luasnya ilmu para masyayikh. Setelah menyimpan sandal, langsung saja aku berwudhu dan dilanjutkan sholat wudhu dan tahiyyatul masjid. Setelah bertanya jam berapa pada pemuda penolongku, ternyata kajian masih 1 jam lagi. Ah, tidak ada salahnya aku murajaaah beberapa hapalan quranku.
Aku tahu pengorbananku berlelah-lelah dan berpayah-payah akan berganti dengan cahaya ilmu yang nanti aku dapatkan. Semoga saja...
-------****--------
Sebagai tuna netra, aku benar-benar merasakan perlakuan diskriminasi dan disepelekan. Tapi.. ya sudahlah, aku tak ingin mengeluh tentang semua ini. Mungkin ini sikap wajar manusia melihat kondisi kekurangan kami, para tunanetra.
Aku yakin seyakin yakinnya,tidak ada manusia yang ingin hanya melihat kegelapan selama hidupnya. Begitu pun diriku, kalau memang bisa memilih aku pun ingin hidup normal seperti manusia lain, bisa melihat indahnya dunia. Perasaan muak dengan keadaan serba kekuranganlah yang dulu sempat kurasakan di masa remaja.
Kini, aku bahagia atas semua karunia Allah. Ya aku bersyukur atas ketunanetraan diriku.
Terlalu banyak hikmah dan kelebihan yang diberikan Allah kepada kami para tunanetra. Kekuatan hafalan adalah salah satunya. Dan kelebihan inilah yang ku gunakan untuk menghafal ribuan ayat alquran dan hadits. Dan aku sangat bersyukur. Mungkin bila mataku bisa melihat, bisa jadi dengan banyaknya kemudahan-kemudahan akan melalaikanku dari semangat hafalan alquran.
Buatku, dengan keadaanku ini sudah tak terhitung nikmat dan karunia Allah kepadaku. Sesunguhnya Allah tidak melihat rupa dan wajah kita, sesungguhnya Allah melihat hati-hati kita. Intinya ketaqwaan kita kepada Allah.
Aku hanya ingin mengingatkan kepada kalian yang memiliki kesehatan penglihatan, mari kita berlomba-lomba dalam kebajikan siapakah yang nanti di akhirat nanti yang akan melihat dengan seterang-terangnya penglihatan. Semoga kita beruntung..
Dan terakhir, walaupun selamanya diriku di dunia melihat dalam kegelapan sesungguhnya aku melihat betapa indahnya dunia yang dikaruniakan kepadaku. paling terakhir, walaupun di dunia aku selalu melihat kegelapan, aku berdo'a semoga di akhirat nanti aku bisa melihat wajah Allah Yang Maha Indah. Amin.
(Djakarta, mlm sabtu,mlm gajian,25 feb 2012, jam 02.59..hehe..)
Komentar