"Aku Memilih Diam"
Tak pernah sedikitpun aku berkeinginan untuk menjadi laki-laki yang tidak baik. Walaupun aku sadari betapa jauhnya diriku dari karakteristik pemuda yang baik di mataku sendiri.
Beberapa waktu yang lalu ada beberapa akhwat yang menawarkan dirinya kepadaku. Peristiwa ini membuatku merenung mendalam dan bersedih hati. Sedikit pun aku tidak merasa geer justru sebaliknya. Karena aku merasa mereka telah salah orang dan salah menilaiku.
"Assalamualaikum Akhie, ana ingin berikhtiar mencari jodoh. Semoga melalui biodata ta'aruf ini akhi berkenan." Itulah pesan mereka via emailku.
Ketika aku mencoba bercermin diri menelisik lebih dalam diriku sendiri. Hanya satu kata yang kurasa pantas untuk diriku sendiri, "Penipu."
Iya, Aku merasa bahwa diriku adalah salah seorang penipu. Dan korban penipuanku adalah beberapa teman dunia mayaku. Tanpa mereka tahu seperti apa aslinya diriku.
Sungguh ironis, beberapa akhwat ini menilaiku hanya dari foto-fotoku di facebook dan secuil statusku yang tidak bermutu. Lalu, dengan entengnya mereka mengirimkan atau mengamanahkan biodata mereka di atas bahuku.
Foto-foto Facebook adalah ajang penipuan. Hanya foto-foto yang terlihat gagah dan tampan saja yang diupload sedangkan foto-foto yang terlihat biasa atau jelek disimpan rapat-rapat. Penipuan bukan? Dan aku adalah salah satu di antara para penipu ini.
Sekuat apapun aku membohongi orang lain tetap saja aku tidak akan pernah bisa membohongi diriku sendiri. Peristiwa akhwat menawarkan diri sangat mengguncang hatiku. Aku malu, malu kepada diriku sendiri. Orang menganggapku baik padahal aku sendiri saja tidak menganggapku orang baik. Aku tentu saja berharap menjadi laki-laki yang baik tetapi masalahnya sampai sekarang aku masih menilai bahwa aku belum menjadi laki-laki yang baik sesuai harapanku.
Persoalannya kemudian bertambah rumit ketika mereka memintaku segera memberikan jawaban. Aku menghargai maksud baik mereka. Dan aku memahami perasaan mereka. Masalahnya kemudian tidak semudah teori.
Terkadang yang sulit difahami adalah mereka cukup berpendidikan dan secara fisik pun cukup menarik. Tetapi kenapa begitu tega membebankan sesuatu yang aku merasa tidak mampu memikulnya.
Akhirnya, aku tak mampu berkata-kata. Aku memilih untuk diam sebagai jawabanku. Aku berharap jawaban diam ini adalah jawaban yang paling halus dan tidak menyakitkan hati mereka.
Aku teringat sebuah hadits tentang menjawab dengan "Diam",
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasululloh SAW bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya.” Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad ini, beliau bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis), maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya.” Atau mungkin beliau bersabda: “Dan diamnya adalah persetujuannya.” (H.R. Muslim)
Itu adalah hadist tentang jawaban diam seorang gadis sebagai tanda setuju untuk dinikahkan. Aku??? Aku adalah seorang lelaki. Dan diamku bukan tanda setuju tetapi tanda "kurang" berkenan. Setidaknya hadist ini telah memginspirasiku.
Namun, terkadang seorang laki-laki itu dituntut dengan jawaban ketegasan. Mungkin sebagian besar menilaiku sosok yang tidak tegas. Dan malah menimbulkan harapan yang tak bertepian. Masalahnya kemudian aku merasa tidak tega jika harus mengatakan penolakan secara langsung. Bagiku, ini sangat rumit dan dilematis. Aku ingin menjaga hati mereka agar tak tersakiti. Namun, aku juga ingin melepaskan diriku dari amanah yang mereka titipkan.
Namun, jawabanku adalah aku memilih diam. Biarlah jawaban diam ini membuat diri-diri kami berintrospeksi diri. Mungkin kami bukanlah jodoh yang tepat. Dan semoga Alloh pilihkan kami jodoh terbaik pilihan-Nya. Aamiin.
Komentar