Langsung ke konten utama

KUPINANG ENGKAU KERANA ALLOH


~ KUPINANG ENGKAU KERANA ALLOH ~

"Silakan Ukhty Rizqo jika ada yang mau ditanyakan atau unek-unek yang ingin disampaikan kepada Akh Rizqi," ujar Ummu Salim kepada akhwat yang duduk sejauh tiga meter di depanku. Aku pun terdiam menunggu pertanyaan yang akan diajukannya.

"Begini, Akhi, ana ini hanyalah seorang lulusan pendidikan umum. Secara keilmuan agama, ana masih sangat awam. Ana belajar agama hanya dari buku dan halaqoh saja. Selebihnya tidak ada. Pertanyaan ana, siapkah akhie menerima kekurangan ana ini yang masih awam dan membimbing ana agar menjadi wanita yang sholihah?" terdengar suara malu-malu dari Ukhty Rizqo di depanku. Kegugupannya sangat terasa. Aku sendiri hanya menunduk dengan sesekali melirik si empunya suara.

"Bagaimana jawaban Akhie atas pertanyaan Ukhty Rizqo? Silakan," kembali Ummu Salim bertindak sebagai moderator.

"Siap," jawabku singkat tanpa jawaban lain. Wajahku tak lepas dari senyuman puas. Kulirik Ummu Salim dan Ukhty Rizqo saling pandang kebingungan. Aku tahu jawaban singkatku membuat mereka bingung.

"Itu saja jawaban akhie?" tanya Ummu Salim. Aku mengangguk puas. Entah mengapa aku ingin sekali mencandai akhwat ini dengan jawabanku yang akan membuatnya gregetan.

"Ukhty Rizqo, bagaimana dengan jawaban Akh Rizqi? Memuaskan tidak?" tanya Ummu Salim kepada Sang Ukhty. Dia menggelengkan kepalanya tanda tak puas dengan jawabanku. Hatiku puas melihatnya yang kebingungan.

"Akhi, mungkin jawabannya bisa ditambahi dengan alasan lain. Alasan siapnya kenapa dan lain-lain. Ukhty Rizqo belum merasa puas dengan jawaban akhie," ujar Ummu Salim kepadaku. Aku tersenyum kepadanya.

"Syukron, Ummu. Pertanyaan Ukhty terlalu normatif bagi ana. Jawabannya hanya 'Siap' dan 'Tidak Siap,' bukan? Dan ana menjawabnya 'Siap,'" jawabku dengan senyuman merekah puas.

"Alasan siapnya adalah seperti kaidah logika, 'Kalau belum bisa ya belajar.' Ukhty bisa belajar agama dari siapapun juga, termasuk dari ana," jawabku dengan lirih. Entah kenapa ketika mengucapkan 'termasuk dari ana,' dadaku berdesir indah. Indah sekali.

"Ana tidak mempermasalahkan apakah Ukhty memahami ilmu agama atau tidak. Masalah keilmuan bisa kita pelajari bersama. Tugas suami adalah membina dan membimbing istrinya dalam hal apapun, terutama dalam kefahaman agama." Aku berharap jawabanku memuaskannya.

"Bagaimana Ukhty Rizqo dengan jawaban Akhi Rizqi tadi? Memuaskan tidak jawabannya?" tanya Ummu Salim kepada Sang Ukhty. Dia mengangguk lembut.

"Alhamdulillah. Jika Ukhty Rizqo masih belum puas ya harus menikah dulu dengan Akhi Rizqi. Insya Allah nanti bisa sepuasnya bertanya-tanya. Oke, masih ada pertanyaan yang lain?" Ummu Salim bertanya kepada kami berdua. Aku sendiri menggelengkan kepalaku tanda tak ada pertanyaan.

"Oh, Ukhty Rizqo masih ada pertanyaan, silakan disampaikan kepada Akh Rizqi," ujar Ummu Salim.

Ukhty Rizqo menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengajukan pertanyaan berikutnya. "Akhi, jika nanti kita menikah, apa yang akhie harapkan dari ana sebagai istri?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Ana berharap Ukhty bisa menjadi partner yang saling mendukung dalam segala hal, terutama dalam beribadah dan meraih ridha-Nya. Ana ingin kita bisa saling mengingatkan dalam kebaikan, saling mendoakan, dan saling menguatkan di setiap keadaan."

Ukhty Rizqo tersenyum, dan matanya tampak bersinar penuh harapan. "Insya Allah, Akhi. Ana juga berharap bisa menjadi istri yang mendukung akhie dalam setiap langkah, dan bersama-sama kita mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat."

Ummu Salim tersenyum puas melihat percakapan yang semakin mendalam antara kami. "Alhamdulillah, semoga niat baik ini selalu mendapat ridha dari Allah SWT. Jika tidak ada lagi pertanyaan, kita bisa mengakhiri pertemuan ini dengan doa."

Kami semua pun berdoa, memohon keberkahan dan petunjuk dari Allah SWT untuk langkah besar yang akan kami ambil. Semoga niat tulus kami ini membawa kami ke jalan yang diridhai-Nya.

---

Setelah pertemuan itu, aku merasakan kelegaan dan kegembiraan yang luar biasa. Hari-hari berlalu dengan penuh persiapan menuju hari pernikahan kami. Aku dan Ukhty Rizqo semakin sering berkomunikasi, saling berbagi pandangan dan harapan tentang masa depan.

Dalam proses persiapan ini, aku tak henti-hentinya bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Aku menyadari betapa pentingnya sebuah niat yang tulus dalam membangun rumah tangga. Niat untuk mencari ridha Allah dan menjalankan perintah-Nya sebagai landasan yang kuat dalam setiap langkah yang kami ambil.

Sementara itu, Ukhty Rizqo juga menunjukkan semangat yang luar biasa. Dia berusaha keras untuk mempelajari lebih banyak tentang agama, baik melalui buku-buku, halaqoh, maupun berdiskusi denganku. Kami berdua sepakat untuk menjadikan pernikahan ini sebagai sarana untuk saling mendekatkan diri kepada Allah.

---

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pernikahan kami dilangsungkan dengan sederhana namun penuh makna. Keluarga dan sahabat terdekat hadir untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Aku masih ingat dengan jelas saat ijab kabul dilaksanakan, hatiku bergetar, merasa sangat bersyukur dan bahagia.

Setelah pernikahan, kami mulai menjalani kehidupan baru sebagai suami istri. Tentu saja, banyak hal yang harus kami pelajari dan adaptasi. Namun, dengan niat yang tulus dan keinginan untuk selalu berada di jalan-Nya, kami yakin bisa melewati setiap tantangan.

Satu hal yang selalu aku tekankan pada Ukhty Rizqo adalah pentingnya komunikasi. Setiap kali ada masalah atau ketidaksepahaman, kami berusaha untuk duduk bersama dan membicarakannya dengan tenang. Kami juga selalu mengingatkan satu sama lain untuk tidak melupakan ibadah, karena itulah sumber kekuatan dan kebahagiaan kami.

Dalam perjalanan pernikahan ini, kami juga menyadari betapa pentingnya memiliki komunitas yang mendukung. Kami aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di masjid dan bergabung dengan kelompok-kelompok pengajian. Hal ini tidak hanya memperkaya pengetahuan agama kami, tetapi juga memberikan kami dukungan moral dari orang-orang yang sejalan dengan visi dan misi kami.

---

Tahun pertama pernikahan kami berlalu dengan cepat. Banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan. Ukhty Rizqo semakin menunjukkan kemajuan dalam memahami ilmu agama. Dia tidak lagi merasa canggung untuk bertanya atau berdiskusi tentang hal-hal yang sebelumnya dianggapnya sulit.

Kami juga mulai merencanakan masa depan dengan lebih matang. Salah satu cita-cita kami adalah membangun keluarga yang harmonis dan penuh dengan nilai-nilai Islam. Kami ingin anak-anak kami nanti tumbuh dalam lingkungan yang mendukung mereka untuk menjadi generasi yang berakhlak mulia dan berilmu.

Suatu hari, dalam sebuah diskusi malam, Ukhty Rizqo berkata, "Akhi, ana bersyukur Allah mempertemukan kita. Dulu ana merasa sangat kurang dalam hal agama, tapi sekarang ana merasa lebih percaya diri. Semua ini berkat bimbingan dan dukungan akhie."

Aku tersenyum dan menjawab, "Alhamdulillah, Ukhty. Ana juga merasa sangat bersyukur memiliki partner seperti Ukhty yang selalu bersemangat untuk belajar dan memperbaiki diri. Kita berjalan bersama menuju ridha-Nya."

Malam itu, kami berbincang panjang lebar tentang cita-cita dan harapan kami ke depan. Kami sepakat untuk terus belajar dan saling mendukung dalam segala hal. Kami ingin menjadikan rumah tangga kami sebagai contoh yang baik bagi orang lain, bahwa dengan niat yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh, kita bisa mencapai kebahagiaan yang sejati.

---

Tahun demi tahun berlalu, dan kami semakin dewasa dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Tentu saja, tidak selalu mudah. Ada kalanya kami menghadapi ujian dan cobaan yang menguji kesabaran dan keteguhan kami. Namun, dengan selalu kembali kepada Allah dan mengingat niat awal kami, kami mampu melewati setiap rintangan.

Ukhty Rizqo terus menunjukkan dedikasinya dalam memperdalam ilmu agama. Dia aktif mengikuti kajian dan sering kali mengajak aku untuk berdiskusi tentang apa yang dia pelajari. Aku merasa sangat bangga dan bersyukur melihat kemajuan yang dia capai.

Di sisi lain, aku juga berusaha untuk menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab. Aku berusaha memenuhi tanggung jawabku sebagai pemimpin


"Silahkan Ukhty Rizqo jika ada yang mau ditanyakan atau unek-unek yang ingin disampaikan kepada Akh Rizqi." Ujar Ummu Salim kepada akhwat yang duduk sejauh tiga meter di depanku. Aku pun terdiam menunggu pertanyaan yang akan diajukannya.


"Begini Akhi, ana ini hanyalah seorang lulusan pendidikan umum. Secara keilmuan agama, ana masih sangat awam. Ana belajar agama hanya dari buku dan halaqoh saja. Selebihnya tidak ada. Pertanyaan ana, siapkah akhie menerima kekurangan ana ini yang masih awam dan membimbing ana agar menjadi wanita yang sholihah?" Terdengar suara kemalu-maluan 'ukhtie' di depanku ini. Kegugupannya sangat terasa. Aku sendiri hanya menunduk dengan sesekali melirik si empunya suara.


"Bagaimana jawaban Akhie atas pertanyaan Ukhty Rizqo? Silahkan." Kembali Ummu Salim bertindak sebagai moderator.


"Siap." Jawabku singkat tanpa jawaban lain. Wajahku tak lepas dari senyuman puas. Kulirik Ummu Salim dan Ukhty Rizqo saling pandang kebingungan. Aku tahu jawaban singkatku membuat mereka bingung.


"Itu saja jawaban akhie?" Tanya Ummu Salim. Aku mengangguk puas. Entah mengapa aku ingin sekali mencandai akhwat ini dengan jawabanku yang akan membuatnya gregetan.


"Ukhty Rizqo, bagaimana dengan jawaban Akh Rizqi? Memuaskan tidak?" Tanya Ummu Salim kepada Sang Ukhty. Ia menggelengkan kepalanya tanda tak puas dengan jawabanku. Hatiku puas melihatnya yang kebingungan.


"Akhi, mungkin jawabannnya ditambahi dengan alasan lain. Alasan siapnya kenapa dan lain-lain. Ukhty Rizqa belum merasa puas dengan jawaban akhie." Ujar Ummu Salim kepadaku. Aku tersenyum kepadanya.


"Syukron Ummie. Pertanyaan Ukhty terlalu normatif bagi ana. Jawabannya hanya 'Siap' dan 'Tidak Siap', bukan? Dan ana menjawabnya 'Siap.'" Jawabku dengan senyuman merekah puas.


"Alasan siapnya adalah seperti kaidah logika 'Kalau belum bisa ya belajar'. Ukhty bisa belajar agama dari siapapun juga termasuk dari ana." Jawabku dengan lirih. Entah kenapa ketika mengucapkan 'termasuk dari ana, dadaku berdesir indah. Indah sekali.


"Ana tidak mempermasalahkan Ukhty memahami ilmu agama atau tidak. Masalah keilmuan bisa kita pelajari bersama. Tugas suami adalah membina dan membimbing istrinya dalam hal apapun terutama dalam kefahaman agama." Aku berharap jawabanku memuaskannya.


"Bagaimana Ukhty Rizqo dengan jawaban Akhi Rizqi tadi? Memuaskan tidak jawabannya?" Tanya Ummu Salim kepada 'Sang Ukhty'. Dia mengangguk lembut.


"Alhamdulillah. Jika Ukhty Rizqo masih belum puas ya harus menikah dulu dengan Akhi Rizqi. InsyaAlloh nanti bisa sepuasnya bertanya-tanya. Oke, Masih ada pertanyaan yang lain?" Ummu Salim bertanya kepada kami berdua. Aku sendiri menggelengkan kepalaku tanda tak ada pertanyaan.


"Oh, Ukhty Rizqo masih ada pertanyaan, silahkan disampaikan kepada Akh Rizqi." Ujar Ummu Salim.


Hmhm... Akhwat di depanku mulai bertanya kembali. Namun, entah kenapa aku merasa mengantuk mendengarnya. Iya, aku mengantuk...


To be continued... ‪#‎RisalahCinta‬

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 Kasus Korupsi yang Belum Terselesaikan Versi ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tantangan yang tidak mudah dalam pemberantasan korupsi. Nah, di bawah kepemimpinan pimpinan baru KPK nantinya, setidaknya ada 13 kasus korupsi yang harus dibereskan. Berikut ini 13 kasus korupsi yang belum terselesaikan versi Indonesia Corruption Watch: 1. Kasus korupsi bailout Bank Century 2. Suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI 3. Kasus Nazaruddin sepeti wisma atlet dan hambalang 4. Kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain 5. Rekening gendut jenderal Polri 6. Suap program Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemenakertrans 7. Korupsi hibah kereta api di Kemenhub 8. Korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 9. Korupsi sektor kehutanan khususnya di Pelalawan Riau 10. Kasus mafia anggaran berdasar laporan Wa Ode Nurhayati 11. Kasus korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan Freeport Newmont...

Memendam Rasa

Bertahun-tahun aku hidup dalam pendaman rasa yang membuat hatiku resah tak terperikan. Ketakutan jiwa kuanggap hanyalah halusinasi belaka. Akhirnya, kuobati dengan pikiran-pikiran positif bahwa akulah yang seharusnya introspeksi diri. Namun, akhirnya apa yang kupendam selama ini ternyata adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi. Terkadang aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Aku telah tertipu bertahun-tahun oleh seseorang yang aku pikir bisa dipercayai. Mungkin inilah takdirku. Takdir yang harus aku terima sepahit apa pun. Walaupun aku masih geleng-geleng kepala, kok bisa berbuat seperti itu sambil terkesan. Lalu, datang kepadaku tanpa merasa bersalah. Senyum dan tertawa bersama keluarga kecilku. Tak pernah ada yang mengira penipuannya telah berlangsung ribuan hari. Bukan sehari dua hari, tetapi ribuan hari. Ckckckck... Tertidur ribuan hari sepertinya tak mungkin. Terlena dalam keadaan sadar, sepertinya seperti itu. Takdirku... Hari-hari berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ...

Alone

Aku memutuskan untuk pergi berlayar. Kukembangkan perahu layarku. Dan kubiarkan angin pagi lautan menerpanya. Amboi. Indah nian. Tak pernah aku menikmati kesendirianku selama ini. Kehidupan kota terlalu kejam menyiksa batinku dengan segala gemerlapnya. Kini di pagi yang cerah ini aku berlayar di tengah lautan bebas menikmati sisa-sisa hidup yang mungkin tak lama lagi kunikmati. Inilah kebebasanku. Mencumbu alam, menikmati alam.