Padasaat Allah membolehkan pernikahan, di
sana mengandung tujuan sebagai cara untuk
memperbaiki akhlak. Sehingga dapat
membersihkan masyarakat dari akhak yang
buruk, lebih menjaga kemaluan, menegakkan
masyarakat dengan sistem Islam yang bersih, dan
melahirkan umat muslim yang bersyahadat La
ilaaha illallah wa anna muhammadar Rasulullah
(tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah).
Kemaslahatan ini tidak mungkin akan terwujud
kecuali dengan menganjurkan untuk menikahi
wanita shalihah, memiliki kualitas agama dan
kemuliaan yang memadai serta berakhak mulia.
Namun, terkadang tipe wanita shalihah yang ideal
seperti ini, tidak didapakan oleh para pemuda
yang telah memiliki niat yang bulat untuk
menikah. Sehingga, tidak sedikit di antara mereka
yang -baik terpaksa atau sengaja- menikah dengan
wanita yang bukan seorang muslimah alias tidak
beragama Islam atau kafir. Lalu, bagaimana
padangan Islam akan hal ini ???
Secara garis besar agama yang ada selain Islam
terbagi atas : ahli kitab dan non ahli kitab. Ahli
kitab terdiri dari : Yahudi dan Nashara, sedangkan
Non Ahli Kitab terdiri dari : Majusi, Shabi'ah,
Agama Penyembah Berhala, dan agama – agama
kemusyrikan lainnya (Hindu, Budha, Kong Fu
Chu, dan lain-lain).
A. AHLI KITAB
Siapakah Ahli Kitab ?
Di dalam al Qur'an Allah Ta'ala telah menjelaskan
kepada kita tentang kaum Ahli Kitab dan
diperbolehkannya bermuamalah dengan mereka.
Allah Subhanahu Wa ta'ala berfirman, artinya :
“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali
Imran : 64).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di
dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat di atas,
bahwa seruan ini mencakup Ahlul Kitab dari
kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
orang-orang yang mengikuti jalan mereka. (Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 67).
Adapun menikahi wanita ahli kitab, maka para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini :
Pendapat Pertama, Seorang muslim halal
menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang
merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah,
ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah ,
Malikiyah , Syafi’iyah , dan Hanabilah (Hanbali) .
Dalil – dalil pendapat ini :
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-
Kitab sebelum kamu” [QS. Al-Maidah : 5].
[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah
menikahi wanita-wanita yang berstatus sebagai
Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman
Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah
binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia
seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan
perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu
menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-
Madain.
[c]. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang
hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita
Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab :
“Kami telah menikahi mereka pada waktu
penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi
Waqqash”. [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab
XVI/232].
[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai orang-orang Majusi, artinya :
“Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang
berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-
wanita mereka dan tidak makan daging
sembelihan mereka” [Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-
Muwaththa Malik, kitab Az-Zakaat I/263].
Pendapat Kedua, Seorang muslim haram
menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang
merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah
ataupun yang menjaga kehormatannya. Pendapat
ini dinukil dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma.
Dalil-Dalil Pendapat ini :
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah :
221].
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkan nikah dengan wanita musyrik
dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah
orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita
Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka
berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau
pernah ditanya tentang hukum menikah dengan
wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau
menjawab : “Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan bagi orang-orang yang beriman
menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan,
saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang
lebih besar daripada seorang wanita yang
mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal
beliau adalah salah seorang hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala” [Fathul Baari Syarh Shahih
Al-Bukhari, kitab Ath-Thalaq IX/416 terbitan Daar
Al-Ma’rifah, Beirut] [HR. Al-Bukhari dalam Shahih-
nya].
[b]. Mereka juga berdalil dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10].
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang
tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan
dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal
perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk
perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan
(An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.
Catatan :
Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi)
dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan
sbb :
[1]. Diskusi Dalil Pertama.
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah :
221].
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah
dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di
dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu
halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-
Maidah : 5].
Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah
oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang
mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan
ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat
khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi
wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat
khusus itu wajib didahulukan.[Al-Mughni oleh
Ibnu Qudamah VI/590].
Adapun tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya
tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar
daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-
nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab :
“Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita
Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara
umum. Maka dalil yang bersifat umum harus
dibangun di atas dalil yang bersifat khusus” [Lihat
Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15].
[2]. Diskusi Dalil Kedua
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” [Al-Mumtahanah : 10].
Ibnu Qudamah mejelaskan : “Lafadz musyrikin
(orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak
mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Orang-orang kafir
yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
artinya : “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni
Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-
Bayyinah : 6]
Maka kita akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an
sendiri membedakan antara kedua golongan
tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa
lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara
mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya :
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” [Al-Mumtahanah : 10], adalah bersifat
umum (‘amm), yang mengandung arti setiap
wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan
ini adalah bersifat khusus (khash), yang
menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab.
Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib
didahulukan.
Sehingga jelaslah bagi kita bahwa semua dalil
para ulama yang menyatakan haram menikahi
wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada
satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih
rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama
yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita
mereka (Ahli Kitab).
B. NON AHLI KITAB
1.MUSYRIK
Seorang muslim dilarang menikahi wanita-wanita
musyrik . Hal ini berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman” [Al-Baqar
sana mengandung tujuan sebagai cara untuk
memperbaiki akhlak. Sehingga dapat
membersihkan masyarakat dari akhak yang
buruk, lebih menjaga kemaluan, menegakkan
masyarakat dengan sistem Islam yang bersih, dan
melahirkan umat muslim yang bersyahadat La
ilaaha illallah wa anna muhammadar Rasulullah
(tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah).
Kemaslahatan ini tidak mungkin akan terwujud
kecuali dengan menganjurkan untuk menikahi
wanita shalihah, memiliki kualitas agama dan
kemuliaan yang memadai serta berakhak mulia.
Namun, terkadang tipe wanita shalihah yang ideal
seperti ini, tidak didapakan oleh para pemuda
yang telah memiliki niat yang bulat untuk
menikah. Sehingga, tidak sedikit di antara mereka
yang -baik terpaksa atau sengaja- menikah dengan
wanita yang bukan seorang muslimah alias tidak
beragama Islam atau kafir. Lalu, bagaimana
padangan Islam akan hal ini ???
Secara garis besar agama yang ada selain Islam
terbagi atas : ahli kitab dan non ahli kitab. Ahli
kitab terdiri dari : Yahudi dan Nashara, sedangkan
Non Ahli Kitab terdiri dari : Majusi, Shabi'ah,
Agama Penyembah Berhala, dan agama – agama
kemusyrikan lainnya (Hindu, Budha, Kong Fu
Chu, dan lain-lain).
A. AHLI KITAB
Siapakah Ahli Kitab ?
Di dalam al Qur'an Allah Ta'ala telah menjelaskan
kepada kita tentang kaum Ahli Kitab dan
diperbolehkannya bermuamalah dengan mereka.
Allah Subhanahu Wa ta'ala berfirman, artinya :
“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak
kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka
berpaling maka katakanlah kepada mereka:
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali
Imran : 64).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di
dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat di atas,
bahwa seruan ini mencakup Ahlul Kitab dari
kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
orang-orang yang mengikuti jalan mereka. (Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 67).
Adapun menikahi wanita ahli kitab, maka para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini :
Pendapat Pertama, Seorang muslim halal
menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang
merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah,
ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah ,
Malikiyah , Syafi’iyah , dan Hanabilah (Hanbali) .
Dalil – dalil pendapat ini :
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-
Kitab sebelum kamu” [QS. Al-Maidah : 5].
[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah
menikahi wanita-wanita yang berstatus sebagai
Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman
Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah
binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia
seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan
perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu
menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-
Madain.
[c]. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang
hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita
Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab :
“Kami telah menikahi mereka pada waktu
penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi
Waqqash”. [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab
XVI/232].
[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai orang-orang Majusi, artinya :
“Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang
berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-
wanita mereka dan tidak makan daging
sembelihan mereka” [Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-
Muwaththa Malik, kitab Az-Zakaat I/263].
Pendapat Kedua, Seorang muslim haram
menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang
merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah
ataupun yang menjaga kehormatannya. Pendapat
ini dinukil dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma.
Dalil-Dalil Pendapat ini :
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah :
221].
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkan nikah dengan wanita musyrik
dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah
orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita
Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka
berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau
pernah ditanya tentang hukum menikah dengan
wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau
menjawab : “Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan bagi orang-orang yang beriman
menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan,
saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang
lebih besar daripada seorang wanita yang
mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal
beliau adalah salah seorang hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala” [Fathul Baari Syarh Shahih
Al-Bukhari, kitab Ath-Thalaq IX/416 terbitan Daar
Al-Ma’rifah, Beirut] [HR. Al-Bukhari dalam Shahih-
nya].
[b]. Mereka juga berdalil dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-
Mumtahanah : 10].
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang
tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan
dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal
perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk
perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan
(An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.
Catatan :
Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi)
dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan
sbb :
[1]. Diskusi Dalil Pertama.
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah :
221].
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah
dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di
dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu
halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-
Maidah : 5].
Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah
oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang
mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan
ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat
khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi
wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat
khusus itu wajib didahulukan.[Al-Mughni oleh
Ibnu Qudamah VI/590].
Adapun tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya
tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar
daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-
nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab :
“Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita
Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara
umum. Maka dalil yang bersifat umum harus
dibangun di atas dalil yang bersifat khusus” [Lihat
Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15].
[2]. Diskusi Dalil Kedua
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, artinya :
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” [Al-Mumtahanah : 10].
Ibnu Qudamah mejelaskan : “Lafadz musyrikin
(orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak
mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Orang-orang kafir
yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
artinya : “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni
Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-
Bayyinah : 6]
Maka kita akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an
sendiri membedakan antara kedua golongan
tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa
lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara
mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya :
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir” [Al-Mumtahanah : 10], adalah bersifat
umum (‘amm), yang mengandung arti setiap
wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan
ini adalah bersifat khusus (khash), yang
menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab.
Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib
didahulukan.
Sehingga jelaslah bagi kita bahwa semua dalil
para ulama yang menyatakan haram menikahi
wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada
satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih
rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama
yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita
mereka (Ahli Kitab).
B. NON AHLI KITAB
1.MUSYRIK
Seorang muslim dilarang menikahi wanita-wanita
musyrik . Hal ini berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, artinya : “Dan janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman” [Al-Baqar
Published with Blogger-droid v1.7.4
Komentar