"Kamu tahu jika usiaku hampir tiga puluh. Ingat, aku seorang wanita. Bagi seorang wanita usia tiga puluh sangat rentan dan menakutkan. Saat pernikahan sepupuku, om dan tanteku bertanya kapan aku menyusul. Dan tentu saja orang tuaku, selalu membahas dan bertanya kapan. Aku tertekan. Please, tolong jawab, apa yang harus aku lakukan. Aku mohon berikan aku sebuah kepastian yang akan membuatku tenang."
Aku terdiam mendengar serbuan harapan-harapannya. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku terlalu lelah...
"Kenapa kamu selalu diam jika aku bertanya kesungguhan dan keseriusanmu? Kenapa? Kamu memang tak punya hati. Tak punya perasaan. Kamu memang tak punya niat serius berhubungan denganku. Kamu egois. Kamu tidak pernah belajar untuk dewasa."
Aku masih terdiam membisu. Hanya tarikan nafasku semakin sesak dan hembusan nafasku terasa berat.
"Baik. Baiklah. Diam adalah pilihanmu. Aku tak sanggup lagi bertahan dan bersabar menunggu sikap dewasamu. Aku lelah.."
Aku pun lelah. Sangat lelah. "Maafkan aku.. I love U so much.."
"Bohong! Tidak. Jangan pernah bawa kata-kata cinta palsu itu. Buatku, bukti cinta adalah pernikahan. Cintamu adalah cinta palsu."
Hening sejenak. Aku terpagut suasana malam yang terdiam. "Kamulah wanita terbaik yang pernah kukenal. Mungkin hanya ada kata I love U yang bisa aku haturkan selain ucapan terima kasihku karena kamu telah menemaniku selama dua tahun ini. Maafkan aku.."
"Maafkan kesalahanku karena ketidakdewasaanku. Aku akui aku masih berproses. Hanya wanita yang sabarlah yang mau menungguku. Maafkan aku..."
---***---
Tiga tahun pun berlalu begitu cepatnya. Aku sibuk dengan karier dan pendidikanku. Sebagian cita-citaku tercapai, sebagian lagi masih berproses. Dan aku masih belum menikah demi karier dan cita-citaku.
Aku tak pernah melupakannya. Ia wanita pertama dan menurutku wanita tangguh yang pernah kukenal. Dan aku menyesal telah meninggalkannya. Aku hanya bisa tertegun saat melihat sebuah fotonya di facebook. Ia terlihat bahagia dengan suami dan kedua putrinya.
Dan yang membuatku sedikit mengelus dada, ia telah menjadi wanita karier yang sukses dengan bisnis kulinernya. Itu ide bisnisku yang kuutarakan saat masih bersamanya. Terlintas dalam pikiranku, apakah ia masih mengingatku dan mencintaiku. Ah, harapan sinting. Tentu saja ia mengingat dan mencintai kedua putri dan suaminya. Tak ada ruang sisa untuk lelaki sepertiku. Pedih.
Aku mencoba mengukir senyum di atas paras muramku. Aku berdoa lirih, "Semoga kebahagiaan dan keberkahan hidup selalu menyertai dirimu dan keluargamu. Aku yang selalui mencintaimu dan berharap bisa menjadi alternatif jika suamimu..."
Ah, kegilaan apalagi yang terlintas dalam pikiranku. "Aku berharap kamu menjadi keluarga sakinah ma waddah warohmah. Dan semoga suamimu dipanjangkan umurnya."
Hmhmhm... Amin.
Nada notifikasi facebook mengagetkan do'a khusuk-ku. Dan...mimpikah ini? Terbaca notifikasi jika ia mengirimiku sebuah pesan. Segera kubuka inbox facebookku.
"Sudah nikah belum? Jangan lupa ya undang. Nanti aku dan suamiku اِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ datang"
Hmhm.. Pedih..
( my fantasy )
Aku terdiam mendengar serbuan harapan-harapannya. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku terlalu lelah...
"Kenapa kamu selalu diam jika aku bertanya kesungguhan dan keseriusanmu? Kenapa? Kamu memang tak punya hati. Tak punya perasaan. Kamu memang tak punya niat serius berhubungan denganku. Kamu egois. Kamu tidak pernah belajar untuk dewasa."
Aku masih terdiam membisu. Hanya tarikan nafasku semakin sesak dan hembusan nafasku terasa berat.
"Baik. Baiklah. Diam adalah pilihanmu. Aku tak sanggup lagi bertahan dan bersabar menunggu sikap dewasamu. Aku lelah.."
Aku pun lelah. Sangat lelah. "Maafkan aku.. I love U so much.."
"Bohong! Tidak. Jangan pernah bawa kata-kata cinta palsu itu. Buatku, bukti cinta adalah pernikahan. Cintamu adalah cinta palsu."
Hening sejenak. Aku terpagut suasana malam yang terdiam. "Kamulah wanita terbaik yang pernah kukenal. Mungkin hanya ada kata I love U yang bisa aku haturkan selain ucapan terima kasihku karena kamu telah menemaniku selama dua tahun ini. Maafkan aku.."
"Maafkan kesalahanku karena ketidakdewasaanku. Aku akui aku masih berproses. Hanya wanita yang sabarlah yang mau menungguku. Maafkan aku..."
---***---
Tiga tahun pun berlalu begitu cepatnya. Aku sibuk dengan karier dan pendidikanku. Sebagian cita-citaku tercapai, sebagian lagi masih berproses. Dan aku masih belum menikah demi karier dan cita-citaku.
Aku tak pernah melupakannya. Ia wanita pertama dan menurutku wanita tangguh yang pernah kukenal. Dan aku menyesal telah meninggalkannya. Aku hanya bisa tertegun saat melihat sebuah fotonya di facebook. Ia terlihat bahagia dengan suami dan kedua putrinya.
Dan yang membuatku sedikit mengelus dada, ia telah menjadi wanita karier yang sukses dengan bisnis kulinernya. Itu ide bisnisku yang kuutarakan saat masih bersamanya. Terlintas dalam pikiranku, apakah ia masih mengingatku dan mencintaiku. Ah, harapan sinting. Tentu saja ia mengingat dan mencintai kedua putri dan suaminya. Tak ada ruang sisa untuk lelaki sepertiku. Pedih.
Aku mencoba mengukir senyum di atas paras muramku. Aku berdoa lirih, "Semoga kebahagiaan dan keberkahan hidup selalu menyertai dirimu dan keluargamu. Aku yang selalui mencintaimu dan berharap bisa menjadi alternatif jika suamimu..."
Ah, kegilaan apalagi yang terlintas dalam pikiranku. "Aku berharap kamu menjadi keluarga sakinah ma waddah warohmah. Dan semoga suamimu dipanjangkan umurnya."
Hmhmhm... Amin.
Nada notifikasi facebook mengagetkan do'a khusuk-ku. Dan...mimpikah ini? Terbaca notifikasi jika ia mengirimiku sebuah pesan. Segera kubuka inbox facebookku.
"Sudah nikah belum? Jangan lupa ya undang. Nanti aku dan suamiku اِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ datang"
Hmhm.. Pedih..
( my fantasy )

Komentar