"Apa yang kamu harapkan dari kisah perjalanan cinta ini?" Kataku perlahan. "Apakah cuma menikmati sepenggal kisah saja tanpa keseriusan hendak dibawa kemana kisah ini?"
Ia hanya diam tanpa kata. Aneh. Lelaki sedewasanya tak bisa bersikap dewasa. Mungkinkah ia tidak sedewasa seperti yang kukira? Terlalu sering aku menggugatnya dengan ucapan "Sampai kapan?".
Entahlah. Aku merasa sedang menantang sang waktu. Perempuan pun ingin jua dimengerti apa yang diinginkannya. Namun tampaknya, laki-laki di sampingku ini tak pernah sedikit pun memahami apa yang aku inginkan dan harapkan.
Nampaknya kata "Nanti" sudah cukup baginya melemaskan lidah ketidakdewasaannya yang sedari tadi diam membisu. Sejatinya, sungguh jauh dari memuaskan hatiku. Aku butuh tak cukup sekedar kata "nanti", tapi "kapan?"
Waktu terlalu cepat melangkah. Melesat secepat kilat. Meluncur bak anak panah lepas dari busurnya.
Usiaku bertambah dan ia tetap berkata "nanti". Benarkah kesabaran itu ada batasnya? Mungkin. Sudah cukup bagiku memberikannya kesempatan emas memilikiku. Sudah cukup.
"Aku membutuhkan kepastian masa depan. Hendak dibawa kemana kisah ini." Ujarku lirih namun tegas.
Ia menatapku lekat-lekat. Nampak gurat ketidaksetujuannya dengan gugatanku. Ingin rasanya aku mengasihaninya. Tapi, aku pikir, aku lebih layak untuk dikasihani.
"Apakah harus sekarang aku menjawabnya?" Tanyanya lirih.
"Aku hanya ingin sebuah kepastian tentang hubungan ini. Aku ingin memiliki tujuan untuk masa depanku. Apakah aku salah jika aku menuntutmu dengan terus bertanya tentang hal ini? Please, jawab sekarang." Kutarik sedalam-dalamnya nafas. Menenangkan nafasku yang memburu tidak sabar.
Ia menengadah dan terdengar tarikan nafasnya yang berat. Aku mencoba menekan jiwa empatiku. Aku harus kuat.
"Sejak pertama kali aku mengenalmu, tidak ada satupun niat untuk bercanda dengan hubungan kita ini. Aku serius ingin menikahimu." Ia terdiam sejenak.
"Aku pun bukan tidak menyadari apa yang terjadi. Aku sadar. Tapi, aku butuh waktu untuk berdamai dengan jiwaku."
"Berdamai??? Apa maksudmu?" Selaku.
"Iya, berdamai. Berdamai dengan jiwaku. Jika aku harus menikah padahal aku belum sukses. Dan terutama.. Aku harus menunda kuliah pasca sarjana dan fokus kepadamu."
"Kamu egois. Jawabanmu menunjukkan sifat egoismemu dan kekanak-kanakanmu." Tak kusangka lelaki yang bertahun-tahun dekat denganku hanyalah seorang anak-anak bertubuh dewasa.
"Jangan dulu memvonisku!" Wajahnya memerah tanda tak suka dengan reaksiku.
"Apakah kamu kira pernikahan akan menghalangi kesuksesan dan pendidikan? Kamu salah. Sangat salah." Ujarku mulai kesal.
"Aku tahu. Tapi, Izinkanlah aku untuk selesai kuliahku dulu, please. Sekali lagi, berilah aku kesempatan lagi untuk memilikimu. Berilah aku waktu, please..please.." Ia memelas.
"Entah sudah berapa kali aku memberimu kesempatan emas memilikiku. Tapi, kamu terlalu lama seolah sengaja mengulur-ulur waktu membiarkanku menua karena menunggumu. Enam bulan yang lalu pun kamu berkata seperti itu. Janjimu terlalu manis namun kenyataannya sangat pahit untukku." Kutumpahkan semua isi hatiku kepadanya.
"Kamu anggap aku ini apa? Apakah kamu kira aku wanita bodoh yang hanya bisa diam jika diperlakukan seperti ini olehmu?" Air mataku tak kuasa kutahan lagi. Aku menangis pilu. Aku emosional.
"Please, jangan sentuh aku. Aku belum halal untukmu." Ucapku di sela gugukan piluku saat ia menyentuh bahuku.
"Maafkan aku." Lirihnya. Terdengar ia menarik nafas panjang. "Baiklah jika memang harus sekarang membahas ini." Kembali ia terdiam sejenak.
"Ada banyak hal yang kupikirkan. Terkadang aku tidak tahu hendak kemana aku melangkah. Aku merasa sedang meniti titian bara api yang sangat panas. Di suatu waktu aku terkadang tidak mengenal siapa diriku. Aku punya cita-cita setinggi langit dan aku berharap aku bisa meraihnya Di mataku, kamu adalah wanita yang sangat baik, rasanya tak pantas diri ini memilikimu. Karena itu, mungkin hanya cukup sampai di sini kisah cinta kita."
Aku merasa tersedak mendengar ucapannya. Aku menatapnya lekat-lekat berharap ucapannya itu salah. Namun, tiada sedikitpun ucapan sangkalnya. Ia hanya menatapku sekilas lalu menundukkan pandangannya mencoba melepaskan diri dari tatapan tanya mataku. Air mataku meleleh tak kenal henti. Aku terluka. Terluka sekali. Ia pun beranjak meninggalkanku. Membiarkanku menangis sendirian.
---****---
Lima tahun bersamanya bukan waktu yang singkat. Kenangan indah melintas di pelupuk mataku. Aku terdiam mencoba menenangkan jiwa senduku. Aku masih belum bisa mengikhlaskan dirinya. Hatiku terbiasa hidup dengan harapan-harapannya.
Aku pun terkadang masih sering mengiriminya sms sekedar mengingatkannya untuk sholat. Masih ada setitik harapan jika ia suatu saat nanti akan datang meminang diriku. Namun, intuisiku berbisik lirih jika ini adalah kesalahanku yang kehilangan logika. Aku mencoba menepiskannya, namun aku tahu kekhawatiran itu ada.
---***----
Sebulan kemudian
"Sayang, tadi Chintya datang. Ia menitipkan surat undangan pernikahannya untuk kamu." Ujar mamaku. Aku beranjak menghampirinya.
"Wah, aku keduluan Chintya deh." Aku tertawa riang. Asyiiik, belanja baju baru lagi, bisik hatiku senang. Chintya adalah sahabat dekatku dan juga sahabatnya, dia pasti datang. Aku akan berdandan secantik mungkin, lebih cantik dan anggun dari yang dia kira.
"Mama, surat undangannya dimana ya ma? Aku belum tahu tempat resepsinya, di rumah atau di gedung." Tanyaku pada mama.
"Tadi mama simpan di meja, sayang." Teriak mamaku dari dapur.
"Gak ada, mama." Jawabku.
"Aih, perasaan mama belum tua banget, kok jadi pelupa begini ya? Ujar mamaku terkekeh sambil menghampiriku. "Tapi, tadi mama tanya Chintya resepsinya di Gedung Joeang."
"Oooh di sana." Seruku. "Mom, nanti sore kita belanja ya?" Ajakku.
"Oce, bos sayang. Asal ada upahnya aj." Kami tertawa riang. "Okelah kalo begitu.."
---***---
Hari ini aku berdandan agak sedikit lama dari biasanya. Sesekali bertanya pada mama apakah jilbabku sudah terlihat rapi atau belum. Intuisiku merasa hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Aku akan datang ke pernikahan Chintya dan terutama berharap tinggi akan bertemu dengannya.
Laki-laki itu kuharap datang. Sedari pagi kukirimi sms jika aku akan datang ke pernikahan Chintya. Walaupun ia tidak membalasnya semua itu tak mengurangi kebahagiaanku. Oh aku bahagia. Kerinduanku akan sedikit terobati. Kembali aku kehilangan logika.
Aku datang sekeluarga. Aku, mamaku, ayahku dan adik laki-lakiku. Tepat pukul 10.00 sang penghulu mulai membacakan prosesi-prosesi ijab kabul. Karena aku baru datang, aku pun hanya mendengar lamat-lamat ucapan sang penghulu dari kursi paling belakang, di tambah keriuhan tamu undangan.
Bukan tanpa sebab, aku datang pas ijab kabul. Rasanya bahagia sekali melihat prosesi itu.
Lalu tiba-tiba, saat sang penghulu menyebut calon mempelai laki-laki, lamat-lamat aku merasa tidak asing dengan nama sang calon mempelai laki-laki. Penghulu itu menyebut namanya, laki-laki itu. Berdebar kencang dadaku. Aku pasti salah dengar. Aku beranjak mendekati prosesi ijab kabul dan...
Tiba-tiba kepalaku pusing. Aku hampir kehilangan kendali. Jiwaku mendadak begitu lemah dan lelah.
"Kenapa mbak?" Tanya seorang tamu undangan mungkin kaget melihatku agak sempoyongan.
"Permisi pak, boleh aku duduk? Sebentar aj, aku agak pusing." Ujarku pada seorang tamu undangan.
"Pusing belum makan ya mbak? tenang mbak, bentar lagi kok." Tanyanya sambil mempersilahkan aku duduk menggantikannya. Aku hanya tersenyum kelu.
Aku memejamkan mataku sejenak. Jiwaku terguncang. Ragaku lelah. Aku tahu ini peristiwa terhebat dalam sejarah perjalanan cintaku. Aku mencoba berdiplomasi dengan jiwaku. Aku tahu ini berat. Sangat berat.
Aku ingin menangis tapi kutahan karena banyak orang yang melihat. Aku harus kuat, aku harus tangguh. Laki-laki ini akan menyesal karena tidak memilihku. "Ya Alloh kuatkanlah jiwaku akan takdir-Mu ini." Do'aku lirih.
Sebuah tangan menyentuh bahuku, terlihat mama nampak sayu melihat keadaanku. "Bismillah. Ya Alloh Kuatkanlah daku." Do'aku berbisik lirih. Aku tak ingin membuat mama khawatir.
Aku mencoba mengukir senyum. "Sayang." Ujar mama hampir menangis. "Iya mama, aku tahu. Ini takdir cintaku, mama." Jawabku sambil mengangguk.
Aku mencoba mengukir senyum. "Sayang." Ujar mama hampir menangis. "Iya mama, aku tahu. Ini takdir cintaku, mama." Jawabku sambil mengangguk.
"Pulang?" Tanya mama lirih. Aku menggelengkan kepala. "Aku harus menunjukkan bahwa aku sanggup bangkit." Nampak ayahku dan adikku menatap sendu kepadaku. Kubalas tatapan sendu mereka dengan senyuman.
To be continued... ( ngantuk coy... kelanjutannya ntar aj di blog gw http://rizqigumilar.blogspot.com/2013/04/sepenggal-kisah.html )

Komentar