Langsung ke konten utama

Pusaran Rindu


Saat jam denting dua, sebuah pesan singkat nampak menari-nari dalam handphone jadulku. "Mas, اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ minggu depan aku berangkat ke Jerman. Kuliah."

Sebuah rasa syahdu menyentil ruang senduku. Nampaknya, aku akan kehilangan dia selamanya. Haruskah kuungkapkan segenap rasa hatiku kepadanya? Aku tahu. Aku sedang bermain hati dengan sebuah harapan hampa. Tapi, apa salahnya jika aku mengatakannya sekarang dengan seluruh jujur yang kupunya? Aku mencintainya sejak pertama kali aku mengenalnya. Dua belas tahun yang lalu. 

Aku merindukannya. Namun, aku pun tak lupakan logikaku. Siapa dirinya, siapa diriku. Tapi, minggu depan ia akan pergi dan mungkin takkan bersua kembali denganku. Biarlah harapan hampa ini tinggallah harapan. 

Kutarik nafas sedalam-dalamnya nafas, mencoba menguatkan mental kelelakianku. Setitik keraguan memagut jiwaku. Sebuah pertanyaan merayuku untuk diam,"Apakah kejujuran ini hanya akan mempermalukanku saja?" 

Keheningan malam hanyutkan jiwaku semakin dalam. Akalku mencoba berdiplomasi dan bernegosiasi dengan hatiku. Akalku berkata,"Bukankah lebih baik gagal dari pada tidak mencoba sama sekali.?" Hatiku menimpali,"Betapa malunya jika aku mengatakannya.." 

Peluh malam basahi keningku. Aku lelah. Aku payah menanggung beban rindu selama ini. Bara rindu ini terlalu kuat merenggut hatiku. Aku harus mengatakannya. Aku harus. Sekarang! 

Kuucapkan salam dengan suara bergetar. Lalu aku memohon maaf karena telah menggangunya. Dan kukatakan, anggap saja ucapanku ini hanya angin lalu, sebuah intermezo belaka. 

"Maafkan jika kejujuranku nanti membuatmu marah. Maafkan aku, aku tak kuasa menanggung rasa ini." Prologku mendayu-dayu. Hanya kudengar desahan nafas di seberang sana. 

Debaran rasa ini seakan-akan ingin mengoyak dada tirusku saat kukatakan dengan sejujur-jujurnya rasa hatiku kepadanya. 

Kuhembuskan nafas berat dan gugupku. Lega nian. Plong terasa. Ia pun hanya menjawab,"Terima kasih, Mas." 

Sebenarnya aku berharap sebuah jawaban lain dari bibirnya. Tapi ternyata hanya sebuah ucapan terima kasih. Hatiku mulai terasa gelisah. Mungkin benar, aku memang tidak tahu diri. Aku telah mempermalukan diriku. Huh. Hembusan nafasku semakin berat. 

Kutatap langit kelam di luar kamarku. Sebuah senyum pahit kucoba hiasi wajah resahku. Aku pun mencoba menertawakan diriku. Menertawakan kebodohanku. Metode melupakan masalah, begitulah kata para facebooker. Terasa agak ringan beban resahku. Metode yang sangat efektif dan simpel. 

Namun, di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih menunggu sebuah pesan darinya. Mungkin sebuah keajaiban jika tanpa sebab ia mengirimiku sebuah pesan. Entahlah. Aku mencoba dan memaksakan hati untuk tidak memikirkannya. 

Empat hari pun berlalu tanpa terasa. Dan jiwaku pun semakin sepi. Aku seperti sedang berjalan dalam bayang-bayang semu. Atasanku terkadang sering menegurku, katanya aku sering melamun. Ah, aku telah gagal menjadi laki-laki gagah. Aku harus melupakannya. Harus. Selamat tinggal cinta. Selamat tinggal masa lalu. 

Kutancapkan sedalam-dalamnya dalam hatiku. Aku harus melupakannya. Bukankah sedari awal aku sudah tahu jika akhirnya adalah harapan hampa. Harapan kosong belaka. 

Ba'da sholat maghrib sebuah nada sms masuk mengagetkan hatiku. Aku harap dia. Cesss.. Dingin sekali dadaku. Ah, ternyata rekan kerjaku yang mengirimiku sebuah sms. Semangatku menguap kembali. Dengan enggan kuletakkan kembali handphone jadulku.

Kutarik napas lelahku. Terasa berat nan melelahkan. Jiwaku seolah terbang melayang meninggalkan raga ringkihku.

Ba'da isya, nada sms masuk terdengar kembali. Paling rekan kantorku lagi, pikirku. Handphone-ku tak kusentuh sedikit pun. Aku lelah. Lebih baik melepaskan segala resah jiwaku dengan berbaring sejenak. Aku tahu jika tubuh dan jiwaku butuh rehat.

Tepat pukul tiga dini hari aku terbangun. Kuraih handpone-ku. Ah, teringat jika ada sebuah sms belum sempat kubaca. Dan....., 

"Mas, aku berharap ada dirimu mengantarkanku. Aku menunggumu di bandara."

Dunia kembali mewangi dan mewarna, indah nian. Aku akan datang. Aku akan datang, teriak hatiku.

                                                                           ---***--- 

Ia tak berani menatapku. Berkata pun tidak. Padahal, pesannya masih terbaca jelas, ia ingin menyampaikan sesuatu padaku. Aku kecewa, namun aku mencoba tersenyum saat ia berpamitan. Kucoba menatap mata beningnya. Dan aku menemukan sesuatu, sesuatu yang membuatku ingin berteriak bahagia. Sebuah cahaya, cahaya harapan. 

Aku terdiam laksana patung saat ia perlahan meninggalkan kami, keluarganya dan diriku, tentu saja. Kutundukan wajah syahduku. 

"Mas Rizqi, sebentar." Sebuah suara mengagetkan anganku yang melayang bersama bayangnya. 

"Nggeh pak!" Seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Aku tidak tahu siapa beliau. Mungkin ayahnya. Tapi, bagaimana beliau tahu namaku. Entahlah. Aku belum sempat berbasa - basi berkenalan dengan keluarganya. 

Aku pun tersenyum membalas sapaannya. Ia terlihat gagah sekali, nampak garis wajahnya mirip dengan bidadari bumi pujaan hatiku. 

"Saya pakle-nya Yunie, dalam perjalanan tadi Yunie menitipkan sebuah surat untuk Mas Rizqi." Ia nampak tersenyum riang. Seperti halnya diriku, segurat rasa bahagia aliri jiwaku. 

"Oh iya, Pakle. Matur nuwun." Aku pun segera meninggalkan keluarganya. Aku tak kuasa menahan gairah maha dahsyat untuk segera membaca surat darinya. Sambil berjalan keluar, kubuka perlahan surat indah nan wangi itu. Nampak tiga baris kalimat. Hanya itu. 

"Mas, terima kasih atas kejujuranmu.""Aku pun sepertimu menanggung beban rindu padamu selama dua belas tahun.""Terima kasih" 

Hanya itu. Tentu saja aku tidak puas. Tapi, ternyata tanpa kuduga, ia pun menaruh hati padaku. 

Rasa bahagia segarkan jiwa sepiku. Walaupun hatiku bertanya-tanya, kenapa ia membalas dengan sebuah surat hanya untuk tiga bait itu? Padahal sebuah sms lebih efektif dan efisien.

Ah, wanita terkadang tak mudah diterka. Aku lupa. Tapi... Kenapa isi suratnya hanya sebatas itu. Aku pikir terlalu singkat nan simpel untuk sebuah surat cinta. Hmhm.. Apa yang salah?.. 

Kutepuk kening tirusku. Bukankah aku hanya mengatakan seluruh rasa hatiku padanya. Tidak sedikitpun aku membahas komitment atau niatan hatiku untuk meminangnya. 

Duh bodohnya diriku, tertipu ketakutan dan keminderan diriku sendiri. Sebuah pelajaran berharga kudapatkan,"Jangan pernah takut untuk mencoba jika kita tak pernah tahu hasilnya" 

Kususuri jalan ibukota yang mulai terik. Harapku, semoga ia kembali.


( Inget y, ini teh imajinasi liar alias fiksi belaka, pake nama "rizqi" sengaja biar lebih seru aj )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 Kasus Korupsi yang Belum Terselesaikan Versi ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tantangan yang tidak mudah dalam pemberantasan korupsi. Nah, di bawah kepemimpinan pimpinan baru KPK nantinya, setidaknya ada 13 kasus korupsi yang harus dibereskan. Berikut ini 13 kasus korupsi yang belum terselesaikan versi Indonesia Corruption Watch: 1. Kasus korupsi bailout Bank Century 2. Suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI 3. Kasus Nazaruddin sepeti wisma atlet dan hambalang 4. Kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain 5. Rekening gendut jenderal Polri 6. Suap program Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemenakertrans 7. Korupsi hibah kereta api di Kemenhub 8. Korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 9. Korupsi sektor kehutanan khususnya di Pelalawan Riau 10. Kasus mafia anggaran berdasar laporan Wa Ode Nurhayati 11. Kasus korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan Freeport Newmont...

Memendam Rasa

Bertahun-tahun aku hidup dalam pendaman rasa yang membuat hatiku resah tak terperikan. Ketakutan jiwa kuanggap hanyalah halusinasi belaka. Akhirnya, kuobati dengan pikiran-pikiran positif bahwa akulah yang seharusnya introspeksi diri. Namun, akhirnya apa yang kupendam selama ini ternyata adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi. Terkadang aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Aku telah tertipu bertahun-tahun oleh seseorang yang aku pikir bisa dipercayai. Mungkin inilah takdirku. Takdir yang harus aku terima sepahit apa pun. Walaupun aku masih geleng-geleng kepala, kok bisa berbuat seperti itu sambil terkesan. Lalu, datang kepadaku tanpa merasa bersalah. Senyum dan tertawa bersama keluarga kecilku. Tak pernah ada yang mengira penipuannya telah berlangsung ribuan hari. Bukan sehari dua hari, tetapi ribuan hari. Ckckckck... Tertidur ribuan hari sepertinya tak mungkin. Terlena dalam keadaan sadar, sepertinya seperti itu. Takdirku... Hari-hari berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ...

Alone

Aku memutuskan untuk pergi berlayar. Kukembangkan perahu layarku. Dan kubiarkan angin pagi lautan menerpanya. Amboi. Indah nian. Tak pernah aku menikmati kesendirianku selama ini. Kehidupan kota terlalu kejam menyiksa batinku dengan segala gemerlapnya. Kini di pagi yang cerah ini aku berlayar di tengah lautan bebas menikmati sisa-sisa hidup yang mungkin tak lama lagi kunikmati. Inilah kebebasanku. Mencumbu alam, menikmati alam.