Saat Jumat tadi ba'da solat jumat hidungku mencium minyak wangi beraroma bunga melati. Seketika aku teringat kenangan empat belas tahun yang lalu. Saat awal-awal masuk SMA dan nyantri di Pesantren Ki Entus Lebak Sambel. Teringat ini rasanya malu dan isin.
Kenangan yang tidak akan bisa terlupakan. Karena disanalah berawal pergulatan pemikiranku. Persentuhan dengan buku-buku tasawwuf membuatku terobsesi menjadi seorang sufi.
Dari buku-buku yang kubaca itulah kutemukan kisah-kisah para sufi dan kehidupannya. Dan aku pun memakan bulat-bulat dan berusaha mencontohnya. Tentu saja berat terasa, puasa berhari-hari dan hanya makan sekedarnya, ibadah yang serba berlebihan plus perilaku yang mengisolasi diri anti modernisme.
Saat "beribadah berlebihan" itulah aku tak pernah lepas dari aroma parfum melati. Dengan tubuh beraroma melati, bersorban dan berpeci pula akupun pergi ke Jakarta. Dan ketika datang ke Jakarta melihat kakakku menyalakan TV, langsung saja kukatakan, "Teteh, buat apa TV? Haram!!!"
Bila teringat ini rasanya maluuu sekali. Tubuh ceking memakai baju koko dan sorban dengan perut kosong karena berpuasa ala kaum sufi seolah kyai kecil nan aneh. Padahal cuma korban buku sufistik. Jika saja aku membawa kotak amal mungkin dikiranya anak yatim yang meminta sumbangan.
Ketika itu aku sudah merencanakan untuk tinggal di hutan. Salah satu hutan yang ada dalam pikiranku adalah tanah ayahku sendiri yang dinamakan Kadu Maung. Memang di sana masih hutan dan banyak pula binatang-binatang buas. Niatku memang inginnya beribadah dan berdzikir saja ketika itu.
Jika saja perilaku itu kuterapkan sekarang betapa melelahkan dan memalukannya. Iya jika mengingat ini rasanya malu sekali. Begitulah masa lalu, kisah remaja yang labil.

Komentar