Suatu malam, seorang gadis tiba-tiba meneleponku. "Kak, cariin aku calon suami doong." Suaranya terdengar keras dan penuh semangat di seberang sana. Gadis ini sebelumnya mengirimiku sebuah SMS dan mengaku sebagai seorang perawat di daerah Tangerang.
"Hm.. Memang kamu mencari calon suami seperti apa?" tanyaku langsung.
"Aku sih maunya laki-laki yang mau menerimaku apa adanya," jawabnya singkat sambil terdengar tawa kecilnya.
"Hm... Menerima apa adanya bagaimana maksudnya? Kakak belum paham," aku balik bertanya.
"Ya menerima aku apa adanya, Kak. Aku ini orangnya keras kepala, aku ini orangnya egois, aku ini orangnya galak, aku ini orangnya cerewet, aku ini orangnya ingin dituruti semua keinginanku. Begitu, Kak. Jadi, aku pengen calon suami yang menerima apa adanya semua sifat-sifat aku, Kak."
Mendengar penuturan "apa adanya" dari gadis yang meneleponku, mendadak kepalaku pening... Jadi, gadis ini berharap ada seorang laki-laki yang mau menerima semua sifat-sifat buruknya.
Aku menepuk jidatku berkali-kali. Ketika kita menyadari sifat dan karakter buruk diri kita, kenapa kita tidak mengubah karakter buruk itu dengan karakter yang baik? Kenapa kita meminta dan menuntut orang lain agar menerima semua sifat buruk kita, bukannya kita mengubah sifat buruk itu dengan sifat yang baik?
"Aku memang begini, terima dong. Kalau tidak terima ya sudah." Sering kita mendengar ucapan seperti itu.
Hidup itu adalah proses. Tentu saja kita pun berharap berproses dari ketidakbaikan menuju kebaikan dalam segala hal. Karenanya, ketika kita menyadari sifat-sifat buruk kita kemudian menuntut orang lain agar menerima sifat buruk kita, itu adalah sesuatu yang absurd. Tak masuk akal dan menggelikan sekali.
Mungkin semua ini sebenarnya dikarenakan kesalahan persepsi tentang "terima aku apa adanya". Gadis ini memaknai "terima apa adanya" sebagai menerima segala sifat dan karakter buruknya, bukan menerima dalam arti keadaan fisik ataupun ekonominya.
Bagi sebagian orang, konsep menerima apa adanya itu dalam hal fisik dan ekonomi (qana'ah). Hal ini tentu saja sangat logis. Sedandan bagaimanapun, kalau memang wajah kita seperti itu, ya tetap saja seperti itu. Memang dalam hal ekonomi bisa diubah tetapi prosesnya butuh usaha nyata yang membutuhkan waktu dan kesabaran.
Berbeda dengan hal sifat dan sikap kita. Misalkan kita ini keras kepala. Jika kita menyadari sifat kita keras kepala, ya ubah dengan bersikap tidak keras kepala. Memang butuh proses, tetapi ini lebih logis daripada menuntut orang lain menerima sifat buruk kita tanpa kita sendiri berusaha untuk merubah sifat buruk itu.
Kembali ke percakapan...
"Masih ada lagi tidak sifat kamu itu?" tanyaku kembali.
"Ada, Kak. Aku ini pemarah. Aku ini juga tidak sabaran. Aku berharap menemukan sosok lelaki yang mau menerimaku apa adanya, Kak. Cariin ya, Kak." Rasanya kepalaku mau pecah... Puyeng...
"Neng, jujur, Kakak sebenarnya rada pusing juga mendengar penuturan kamu. Kamu menyadari dan mengetahui semua sifat-sifat buruk kamu itu. Pertanyaan Kakak, kenapa kamu tidak merubahnya dan membuang sifat-sifat buruk itu serta menggantinya dengan sifat-sifat kebalikannya yang baik?" ujarku menasihatinya.
"Kamu sadar, kamu tahu, kamu ingat kalau kamu itu mempunyai sifat buruk. Seharusnya, kamu jangan meminta dan menuntut orang lain menerima sifat buruk kamu, tetapi berusahalah merubah sifat buruk kamu menjadi sifat yang baik," kembali aku menasihatinya.
Sejujurnya, obrolan aku dan gadis itu lumayan cukup lama. Gadis itu terus nyerocos tak bisa disela. Sangat menguras energi kesabaranku sebagai seorang pendengar. Dan yang paling membuatku terkejut adalah saat dia mengatakan, "Aku mau yang seperti kakak." Oooooh my Allah..., kabuuuur...
---
Dalam kehidupan ini, sering kali kita mendengar ungkapan "terima aku apa adanya." Namun, ungkapan ini tidak berarti kita harus menerima semua kekurangan dan sifat buruk tanpa ada upaya untuk berubah. Justru, memahami kekurangan diri sendiri adalah langkah pertama untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Ketika kita menyadari bahwa kita memiliki sifat-sifat buruk, kita harus berusaha mengubahnya, bukan menuntut orang lain untuk menerimanya. Proses perubahan ini memang tidak mudah dan memerlukan waktu, tetapi dengan tekad dan usaha, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
Mencari pasangan hidup yang bisa menerima kita apa adanya memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah kita terus berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Dengan begitu, kita tidak hanya menemukan kebahagiaan dalam hubungan, tetapi juga kebahagiaan dalam diri kita sendiri.
Komentar