Langsung ke konten utama

Aku dan Tuhan-ku; Sebuah Kajian Epistemologis


Saat orang-orang berebut dan menyerbu praktek dukun ponari atau dukun lainnya. Untuk meminta kesembuhan dan lain sebagainya. Sebuah kesimpulan tersimpul, bangsa kita masih jauh dari sifat-sifat peradaban yang maju.

Saya tidak membahas mahalnya ongkos berobat di dokter atau rumah sakit. Saya membahas framework berpikir. Tentu ada yang salah dari cara berpikir kita.

Ada yang salah ketika kita datang ke dukun yang mengaku-aku bisa menggandakan uang, misalnya. Ada yang salah saat kita bergelimang masalah lalu datang kepada kyai dukun untuk meminta jimat. Ada yang salah ketika kita banyak masalah atau banyak utang lalu mendatangi kuburan keramat agar utang kita lunas. Sangat salah.

Saya tidak akan membawa permasalahan ini secara logika agama Islam. Dengan dalil-dalil agama karena tidak semua orang mau membacanya. Lagi pula sudah barang tentu Islam berlepas diri dari perilaku kotor ini.

Saya ingin membawa Anda pada alam manusia sebagai makhluk berpikir. Tentu mafhum yang membedakan kita dengan hewan adalah akal.

Akal kita tahu jika itu batu, akal kita tahu jika itu makanan, akal kita tahu jika itu patung, akal kita tahu jika itu kuburan, akal kita tahu jika kita manusia yang terdiri dari daging, tulang, darah, dan sebagainya.

Pertanyaannya, kenapa kita meyakini sebuah batu bisa menyembuhkan jika kita tahu dan sadar itu adalah batu? Dipalu pun akan hancur. Mari kita jujur bersama-sama.

Pertanyaannya, kenapa kita meyakini kuburan orang mati bisa menolong kita melunasi utang? Padahal kita tahu itu hanyalah sekedar kuburan, tidak jarang kuburan hewan pun dikira kuburan ulama. Tragis.

Pertanyaannya, kenapa kita meyakini manusia si A atw si B sebagai inkarnasi Tuhan atau titisan Tuhan? Padahal kita tahu manusia itu tidak lebih dari sekedar manusia lemah dan sekedar makhluq ( yg diciptakan) yang tidak akan menjadi kholiq (sang pencipta).

Tanya kenapa??

Secara kejiwaan manusia, jiwa kita membutuhkan sesuatu yang bisa melindungi kita. Jiwa kita membutuhkan sesuatu untuk disembah. Jiwa kita butuh sesuatu yang hebat. Tanpa kita sadari jiwa kita membutuhkan sesuatu yang super hebat. Bahkan bukan hanya hebat namun suci dan sempurna. Sangat sempurna.

Inilah yang disebut naluri beragama. Sesuatu itu adalah Tuhan. Jiwa kita membutuhkan sosok Tuhan. Setiap manusia membutuhkan sesuatu itu. Karena kita memang sangat tahu jika kita lemah dan payah.

Dengan naluri beragama inilah kita mencari sesuatu yang sempurna itu. Dalam buku sejarah kita menemukan adanya kepercayaan anismisme dan dinamisme. Peninggalan-peninggalan isme-isme nenek moyang pun kita temukan. Inilah bukti betapa sejak zaman dulu kala kehausan akan sesuatu yang bisa melindungi (pelindung) itu ada.

Satu point telah kita temukan, setiap manusia memiliki naluri beragama atw kecenderungan beragama. Jadi, para atheis itu adalah orang-orang yang membohongi jiwa mereka sendiri.

Dalam proses pencarian akan sesuatu yng sempurna nan hebat ini tentu saja sering terjadi kesalahan atau salah sasaran.. Oleh karena itu, kita memiliki akal untuk berpikir dan menimbang. Apakah sesuatu ini atau itu layak untuk disembah? Apakah sesuatu itu mampu melindungi kita? Apakah sesuatu itu sempurna dan suci?

Akal kita mampu menilainya. Kembali pembahasan di atas. Tentang batu, bisakah batu mampu bergerak atau ketika kita palu ia akan melawan? Just stone, hanya batu saja. Tak mungkin ia Tuhan.

Begitu pula dengan kuburan. Hanya sebuah tempat pembuangan bangkai saja yang tidak akan memberikan kekayaan atau pelunasan utang kepada kita yang menziarahinya. Akal kita mampu sebenarnya menilai ini. Namun, cahaya kebenaran tidak mau masuk kepada akal kita karena kita tidak mau untuk merenunginya.

Terakhir tentang manusia. Benarkah sosok daging, darah dan tulang rapuh ini layak disejajarkan dengan Tuhan? Pikirlah baik-baik. Tatap diri kita sendiri, karena kita adalah manusia, diri kitalah yang sedang kita nilai.

Sekali lagi,tubuh ringkih dan payah ini sangat tidak layak disejajarkan dengan Tuhan atau sangat tidak pantas untuk disembah dan dituhankan dan dianggap sebagai jelmaan Tuhan. Akal kita sangat tahu kekeliruan besar ini.

Point yang kedua telah kita dapatkan. Untuk menemukan sesuatu yang benar dan layak untuk disembah itu membutuhkan akal sebagai penimbang.

Dari kedua point di atas kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kenapa sampai terjadi berbondong-bondong orang menyerbu tempat praktek dukun dan menyerbu kuburan-kuburan kramat dan menganggap seorang manusia sebagai Tuhan?

Semua itu disebabkan manipestasi naluri beragama yang tanpa melalui verivikasi akal sehingga pemuasan kebutuhan akan sesuatu yang hebat itu salah sasaran.

Kesimpulan kajian malam ini adalah emosi jiwa atau naluri jiwa manusia membutuhkan Tuhan namun untuk menemukan siapa Tuhan yang benar dan layak untuk disembah itu membutuhkan akal agar tidak salah sembah.

Selamat beristirahat. Sampai jumpa dikajian berikutnya tentang Tuhan manakah yang benar dan layak untuk disembah. Terima kasih.

Salam_ hangat Ka' Rizqi

Ancol Memory, 13 Sept '12. 03:20 AM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 Kasus Korupsi yang Belum Terselesaikan Versi ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tantangan yang tidak mudah dalam pemberantasan korupsi. Nah, di bawah kepemimpinan pimpinan baru KPK nantinya, setidaknya ada 13 kasus korupsi yang harus dibereskan. Berikut ini 13 kasus korupsi yang belum terselesaikan versi Indonesia Corruption Watch: 1. Kasus korupsi bailout Bank Century 2. Suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI 3. Kasus Nazaruddin sepeti wisma atlet dan hambalang 4. Kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain 5. Rekening gendut jenderal Polri 6. Suap program Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemenakertrans 7. Korupsi hibah kereta api di Kemenhub 8. Korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 9. Korupsi sektor kehutanan khususnya di Pelalawan Riau 10. Kasus mafia anggaran berdasar laporan Wa Ode Nurhayati 11. Kasus korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan Freeport Newmont...

Memendam Rasa

Bertahun-tahun aku hidup dalam pendaman rasa yang membuat hatiku resah tak terperikan. Ketakutan jiwa kuanggap hanyalah halusinasi belaka. Akhirnya, kuobati dengan pikiran-pikiran positif bahwa akulah yang seharusnya introspeksi diri. Namun, akhirnya apa yang kupendam selama ini ternyata adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi. Terkadang aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Aku telah tertipu bertahun-tahun oleh seseorang yang aku pikir bisa dipercayai. Mungkin inilah takdirku. Takdir yang harus aku terima sepahit apa pun. Walaupun aku masih geleng-geleng kepala, kok bisa berbuat seperti itu sambil terkesan. Lalu, datang kepadaku tanpa merasa bersalah. Senyum dan tertawa bersama keluarga kecilku. Tak pernah ada yang mengira penipuannya telah berlangsung ribuan hari. Bukan sehari dua hari, tetapi ribuan hari. Ckckckck... Tertidur ribuan hari sepertinya tak mungkin. Terlena dalam keadaan sadar, sepertinya seperti itu. Takdirku... Hari-hari berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ...

Alone

Aku memutuskan untuk pergi berlayar. Kukembangkan perahu layarku. Dan kubiarkan angin pagi lautan menerpanya. Amboi. Indah nian. Tak pernah aku menikmati kesendirianku selama ini. Kehidupan kota terlalu kejam menyiksa batinku dengan segala gemerlapnya. Kini di pagi yang cerah ini aku berlayar di tengah lautan bebas menikmati sisa-sisa hidup yang mungkin tak lama lagi kunikmati. Inilah kebebasanku. Mencumbu alam, menikmati alam.