Pernah sebelumnya aku merasakan pagutan cinta yang begitu dalam. Dulu, saat awal kuliah. Namun kali ini, pagutan cinta itu menghujam hatiku lebih dalam, mengambil alih segala rasa dan hasrat jiwaku.
Dulu, bara cintaku padam saat dia memilih yang lain. Aku pun terluka, kalah telak dalam pusaran asmara. Sekali lagi, itu dulu, dulu sekali.
Kini, dalam episode yang berbeda. Seseorang yang terindah selalu menantiku setiap kali aku pulang dari kerja. Kamu. Ya, kamu.
Senyum indah terhias di wajah cantikmu dalam balutan jilbab ungu, sambil menjawab salam dan mencium tanganku. Lalu kukecup keningmu dengan penuh cinta. Indah nian.
"Ayah, izinkan Bunda melepaskan sepatu dan kaus kaki Ayah." Itulah kata-kata yang selalu kamu ucapkan setiap kali aku pulang. Hatiku terharu.
"Ya Allah, syukurku pada-Mu atas segala karunia nikmat-Mu padaku. Engkau karuniakan dalam hidupku yang ringkih ini, seorang bidadari terindah, terhebat dalam perjalanan cinta manusia. Permata yang tiada ternilai harganya. Tiada duanya. Istri sholehah. Alhamdulillah." Doaku lirih.
“Kok Ayah melamun? Melamunin apa, Ayah? Oh iya, Ayah sudah minum obatnya belum? Bunda sudah siapin tuh di meja.” Senyumanmu bahagiakan duniaku. Aku pun tersenyum haru. Kutarik napas dalam-dalam.
”Terima kasih, Sayang. Ayah cuma terharu saja melihat apa yang Bunda lakukan untuk Ayah. Padahal Ayah cuma lelaki pesakitan.” Aku tertunduk pilu. Terbayang vonis dokter dua bulan yang lalu. Ah, mungkin sudah nasibku semuda ini harus menderita penyakit jantung. “Ampuni aku, Ya Allah, atas segala keluhanku. Kuatkanlah aku. Kuatkanlah kami. Amin.”
“Ih, Ayah kok bilang begitu. Itu sudah kewajiban Bunda sebagai istri.” Senyumanmu sungguh merasuk segar dalam relung jiwaku.
“I love you, Bunda sayang.” Aku tersenyum romantis.
“Ih, Ayah kayak ABG aja.. eh, ABG maksudnya..hehehe…”
“Loh. Bener.. memang Ayah cinta berat sama Bunda.” Aku kembali menggoda.
“Hmmmm… Makanya kalau Ayah cinta berat sama Bunda, Ayah harus rajin minum obatnya. Ayo Ayah..” Sentuhan manja tangan halusmu semangatkan jiwaku.
“Wah.. Bunda. Ayo apa nih? Hmhmhmhm…” Bahagia hatiku bila dekat denganmu sayang. “Ya Allah, izinkan daku untuk menikmati kebahagiaan seperti ini selamanya. Bersamanya.” Rintih hatiku pilu.
“Aduh..” Seruku. Cubitanmu hangatkan jiwaku.
“Ayah sih.. Bunda kan cuma ngajak minum obat bukan ngajak yang lain.”
“Kalau Bunda mau ngajak yang lain juga boleh kok.” Aku tersenyum genit.
“Ih Ayah. Dasar. Minum obat dulu, Ayah.” Suami mana yang tidak berbahagia dengan kemanjaan istrinya. Bidadari surga pun cemburu padamu, sayang.
…***…
Kukecup kening manisnya dengan lembut sambil kuucapkan kalimat sakti, "I love you, Bunda sayang." Itulah rutinitas prologku sebelum tidur. Setiap suami mungkin berbeda, tidak harus sama.
Malam ini aku merasakan kesyahduan yang begitu dalam. Kecupan bibirku di keningnya diikuti lelehan air mata lelakiku. Tak kuasa kubendung. Kupeluk erat tubuhnya. Kudekap kepalanya dalam dadaku seolah tak ingin kulepas lagi.
"Sayang, Ayah takut. Ayah terlalu mencintaimu. Haruskah kematian memisahkan kita?" Aku tergugu dalam pilu, membasahi ubun-ubun istriku dengan air mata takutku. Terasa dadaku pun dibasahi air matanya.
"Bunda sayang, kalau nanti Ayah meninggal." Sejenak aku berhenti, hampir tak sanggup aku melanjutkan. "Ayah izinkan Bunda untuk menikah lagi." Tubuhku menggigil mengguguk pilu.
"Ayah!" Ia memelukku begitu erat. "Jangan bilang itu lagi. Bunda benci. Allah memberikan sakit pasti ada obatnya. Bunda harap Ayah tidak pesimis. Semoga mujizat Allah hadir dengan memberikan kesembuhan pada Ayah."
Kutarik napas dalam-dalam. Segarnya udara terasa memasuki rongga-rongga dadaku yang tirus. Keheningan memagut malam yang larut. Jerit cicak malam seolah membahasakan jiwaku yang ingin teriak bebas.
Kuhembuskan napas beratku. Mencoba melepaskan beban takutku. Kelahiran dan kematian adalah kekuasaan Allah. Tak pantas aku bermuram durja karena pesimismeku akan segera datangnya malaikat maut. Aku tahu sakitku bisa menjadi wasilah cepatnya kedatangan ajal. Tapi, haruskah aku pesimis?
…***…
Malam yang sunyi itu tetap berjalan meskipun perasaanku terasa beku. Dalam dekapan hangat istriku, aku merasakan kehadiran cinta yang tak tergantikan. Dia, bidadari yang Allah kirimkan untuk menemaniku melewati masa-masa tersulit dalam hidupku. Namun, di balik senyum manisnya, aku tahu dia menyembunyikan kekhawatirannya. Kami berdua terjebak dalam ketidakpastian yang mencekam.
Hari-hari berlalu, dan aku mulai merasakan semakin sering lelah. Obat-obatan yang kuharapkan bisa memberikan keajaiban, seakan-akan tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya. Setiap detik yang berlalu, aku merasa waktu semakin menyempit, dan bayangan akan perpisahan semakin nyata di depan mata.
Namun, meski begitu, Bunda selalu memberiku semangat. Dia tak pernah lelah mengingatkanku untuk minum obat, makan dengan baik, dan beristirahat. Senyumannya yang tulus dan sikapnya yang penuh kasih sayang selalu membuatku merasa sedikit lebih baik.
Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, aku dan Bunda duduk di teras rumah. Udara sore itu begitu segar, dan suara burung yang berkicau menambah suasana damai.
"Ayah, lihat deh, senja hari ini indah banget ya?" kata Bunda sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga.
"Iya, indah sekali. Seperti senyum Bunda," jawabku dengan lembut.
Bunda tersenyum, tapi aku bisa melihat ada sesuatu di matanya yang berusaha ia sembunyikan. Kesedihan yang mencoba ia sembunyikan dariku.
"Ayah, boleh Bunda tanya sesuatu?" tanyanya tiba-tiba.
"Tentu, Bunda. Apa yang ingin Bunda tanyakan?" jawabku.
"Jika nanti, saat Ayah sudah tidak ada, apa yang Ayah inginkan untuk Bunda lakukan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Hatiku terasa seperti ditusuk. Aku tahu, pertanyaan ini akan datang suatu saat, tapi aku tidak pernah siap untuk menjawabnya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Bunda, Ayah ingin Bunda tetap kuat. Teruskan hidup dengan bahagia, temukan kembali cinta yang bisa melengkapi hidup Bunda. Ayah ingin Bunda tahu bahwa Ayah selalu mencintai Bunda, di dunia ini dan di akhirat nanti."
Bunda menangis, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Aku merangkulnya, mencoba memberikan ketenangan meskipun hatiku sendiri terasa hancur berkeping-keping.
"Ayah, Bunda tidak tahu bagaimana harus hidup tanpa Ayah," katanya terisak.
"Bunda, Bunda pasti bisa. Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang sabar dan tabah. Ayah yakin, Bunda akan menemukan kekuatan yang luar biasa dalam diri Bunda."
Hari-hari berlalu, dan semakin sulit bagiku untuk menyembunyikan rasa sakit yang semakin sering menyerang. Aku tahu, waktuku tidak banyak lagi. Aku memutuskan untuk menghabiskan setiap detik yang tersisa dengan membuat kenangan indah bersama Bunda.
Setiap pagi, aku dan Bunda berjalan-jalan di taman dekat rumah. Kami berbicara tentang masa lalu, mengenang saat-saat indah yang pernah kami lalui bersama. Terkadang, kami hanya duduk berdua, menikmati keheningan dan saling berbagi perasaan yang tak terucapkan.
Suatu hari, aku merasakan sakit yang luar biasa di dadaku. Rasanya seperti ada beban berat yang menekan, membuatku sulit bernapas. Aku tahu, inilah saatnya. Aku mencoba tersenyum pada Bunda, tapi air mata sudah mengalir di pipiku.
"Bunda, maafkan Ayah. Ayah harus pergi sekarang," bisikku dengan suara yang lemah.
Bunda menggenggam tanganku erat-erat, seolah tidak ingin melepaskanku. "Ayah, jangan pergi. Bunda mohon, bertahanlah."
"Ayah akan selalu ada di hati Bunda. Ingat itu, ya?" kataku dengan napas tersengal-sengal.
Bunda menangis, memelukku erat. "Ayah, Bunda mencintaimu."
"Ayah juga mencintai Bunda, selalu," jawabku sebelum pandanganku mulai kabur dan gelap menguasai segalanya.
…***…
Saat aku membuka mata, aku berada di sebuah tempat yang begitu damai dan indah. Rasanya seperti mimpi, tapi aku tahu ini adalah kenyataan baru yang harus kuterima. Aku merasa ringan, tanpa rasa sakit atau beban yang mengganggu.
Namun, meskipun tempat ini begitu indah, hatiku tetap merasa kosong. Aku merindukan Bunda. Aku merindukan sentuhannya, suaranya, dan senyumannya. Tapi aku tahu, aku harus merelakannya. Allah punya rencana terbaik untuk kami.
Waktu berjalan, meskipun di tempat ini rasanya berbeda. Aku bisa melihat Bunda dari kejauhan, melihatnya menjalani hidup tanpa diriku. Setiap hari, aku berdoa agar Bunda diberi kekuatan dan kebahagiaan. Aku melihatnya menangis, tersenyum, dan perlahan bangkit dari kesedihannya.
Suatu hari, aku melihat Bunda sedang duduk di taman tempat kami sering berjalan-jalan bersama. Dia tampak lebih tenang sekarang, meskipun ada kesedihan yang masih tersisa di matanya. Di sebelahnya, seorang pria duduk, menggenggam tangannya dengan penuh kasih sayang.
Aku tahu, inilah saatnya aku benar-benar merelakannya. Aku tersenyum, merasa lega karena Bunda tidak sendirian. Dia menemukan kembali cinta yang bisa melengkapi hidupnya.
"Bunda, Ayah selalu mencintaimu," bisikku, meskipun aku tahu dia tidak bisa mendengarnya. Tapi aku yakin, dalam hatinya, dia tahu aku selalu ada untuknya.
…***…
Bunda, sekarang sudah bisa melanjutkan hidup dengan damai. Dia tetap mengingatku, tetapi tidak lagi larut dalam kesedihan. Aku melihatnya tersenyum lebih sering sekarang, dan itu membuatku merasa bahagia.
Suatu hari, ketika aku melihatnya di taman itu lagi, dia membawa seikat bunga dan meletakkannya di tempat yang kami kenal baik. Dia berlutut, menutup mata, dan berdoa. Aku tahu, dia sedang berbicara denganku, meskipun aku tidak bisa mendengar kata-katanya.
"Ayah, Bunda selalu mencintaimu. Terima kasih untuk cinta dan kenangan indah yang telah kita buat bersama," bisiknya lembut.
Aku merasa air mata jatuh dari mataku, tapi ini adalah air mata kebahagiaan. Aku tahu Bunda akan baik-baik saja, dan itu sudah cukup bagiku. Allah telah memberiku kesempatan untuk mencintai dan dicintai oleh seorang wanita luar biasa, dan untuk itu aku bersyukur.
Kehidupan ini mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan kita, tetapi aku yakin, selama kita memiliki cinta dan keimanan, kita akan selalu menemukan jalan untuk bahagia. Aku berdoa agar Bunda selalu dalam lindungan Allah, dan suatu hari nanti, kami akan dipertemukan kembali dalam surga-Nya.
Dengan begitu, kisah cinta kami tidak berakhir di sini. Ini hanyalah awal dari perjalanan abadi kami bersama di kehidupan selanjutnya. Allah maha penyayang dan maha mengetahui, dan aku yakin, rencana-Nya selalu yang terbaik untuk kami.
Komentar