Kisah Para Fighter Sejati
"Suhanda: Semua Akan Indah Pada Waktunya"
Senja ini hatiku mengharu biru.. Aku teringat salah seorang
sahabatku, Ustadz Suhanda. Aku memanggilnya ustadz. Karena sekarang ia telah
menjadi da'i super. Iya, super. Bukan hanya jago dakwah tapi sekaligus jago
masak masakan Arab.
Aku terharu akan perjuangannya dulu. Perjuangan yang
terkadang membuatku meneteskan air mata persaudaraan karena Alloh.
Aku akan menceritakannya pada kalian, tapi tunggu sebentar.
Maaf, menunggu lama. Suhanda meneleponku tadi. Entahlah..
Mungkin sebuah bisikan ghaib membisikinya jika aku sedang menulis tentang
dirinya. Nanti akan aku ceritakan gaya fighter Ustadz Suhanda ini. Untuk
bocoran, ia mengabariku jika istrinya telah melahirkan bayi lelaki.
Alhamdulillah.
---***---
Saat pertama kali melihatnya, aku banyak mengulum senyum.
Tentu saja aku sangat mengenal profil seorang "bujang" yang berasal
dari pelosok Banten. Keluguan dan kesederhanaannya yang khas. Apalagi bila
ditambah logat Sunda Banten yang terkesan kasar tanpa intonasi mendayu ala
Priangan.
Sosoknya yang tinggi besar dan berkulit manis, tolong jangan
salah sangka. Penggunaan kata "manis" hanya untuk memperhalus bahasa
saja. Bukan berarti aku pernah menjilat kulitnya. Tentu saja tidak. Baiklah,
bahasa vulgarnya adalah berkulit gelap alias hitam plus hauk.
Bukan profil fisiknya yang membuatku sangat dekat dengannya.
Bukan pula karena kesamaan daerah. Tapi, karena -seperti yang aku katakan di
atas- keluguan dan kesederhanaannya.
Saat itu ia lebih sering termenung saking bingungnya mata
kuliah kelas kami. Ia memang sudah terlalu lama jauh dari buku, apalagi
belajar. Tapi, kami tidak pernah membahas kekurangannya itu. Tidak pernah pula
menjadikannya sebagai guyonan.
Kami sadar, kami adalah thullab (murid-murid). Sangat wajar
bila kami belum tahu dan masih bodoh. Singkat cerita, tibalah hari ujian akhir.
Dan ternyata Suhanda masuk kategori "rosib fil imtihan" (gagal dalam
ujian). Hingga ia harus mengulang ujian.
Akhirnya, tibalah para intelektual muda itu untuk
mengamalkan ilmu yang telah mereka pelajari selama dua tahun lebih. Kecuali aku
dan Suhanda. Hmhm..
Mudir (bos ma'had) menganggap Suhanda belum layak untuk
ditugaskan ke berbagai daerah seperti yang lain. Lalu, aku sendiri? Hmhm.. Jauh
sebelum imtihan (ujian), aku sudah pergi lebih dahulu menuju negeri antah
berantah nan tak bertuan. Dan bekerja di sebuah hotel. Ini tentang Suhanda ya,
bukan tentang aku. Tentangku tentu lebih seru dan mewarna-warni. Jangan banyak
bertanya dulu. Sabar. Belum waktunya.
Suhanda pun hanya berdiam diri di ma'had. Hingga suatu hari
mudir memanggilnya dan menawarinya pekerjaan sebagai security alias satpam
untuk sebuah ma'had di Cianjur.
Suhanda tak punya pilihan lain selain berdiam diri di
ma'had. Akhirnya, ia pun menerima tawaran ustadz. Dengan profesi baru sebagai
satpam. Satu hal yang tidak pernah Suhanda lupakan adalah mengirimiku sms dan
meneleponku. Tentu saja untuk bercerita banyak hal.
Satu hal lagi yang aku kagumi dari sosok Suhanda muda adalah
niat ia masuk ma'had adalah untuk belajar dan berdakwah. Walaupun ia juga
menyadari betapa susahnya pelajaran-pelajaran itu masuk ke dalam kepalanya.
Tanpa dinyana, Suhanda mendapatkan informasi beasiswa untuk
kuliah di Makassar. Suhanda pun dihadapkan dengan dua pilihan, tetap menjadi
security atau menjadi mahasiswa (belajar) lagi.
Ia berpikir, niat ia sedari awal adalah untuk belajar agama
dan berdakwah, bukan menjadi security. Satpam tidaklah profesi hina tapi ia
menyadari betapa awamnya ia tentang dinnul islam. Dengan pertimbangan ini, ia
pun meminta surat rekomendasi mudir ma'had tempat ia bekerja untuk pergi menuju
harapan baru di Makassar.
Bulan pun berlalu, tahun pun berganti. Hingga suatu senja,
sebuah sms tausyiah dan diikuti sebuah panggilan telpon menyapa handphone
jadulku. Suhanda menelponku. Eh salah, bukan Suhanda, tapi Ustadz Suhanda.
Ada yang berbeda dari suaranya, ada yang berubah dari bobot
bicaranya, ada sejuta makna dari kata-kata yang diucapkannya dari sebrang sana,
Makassar.
Aku tergugu pilu. Saat aku sibuk dengan duniaku. Sahabatku
Suhanda sibuk dengan kajian ilmu dan dakwah. Ia bukan lagi sosok si rosib fil
imtihan, tapi sosok da'i muda. Nasehatnya selalu disertai dengan dalil-dalil
Al-Quran dan As-Sunnah. Tentu saja tak pernah lepas dengan logat dan intonasi
kasar ala Bantennya.
Hingga ia pun lulus dari ma'had Makassar dan ditempatkan
kembali di ma'had Cianjur lalu menetap selama dua tahun di ma'had Sukabumi. Dan
selama itulah ia tak pernah lupa menasehatiku dengan pesan-pesan dakwah.
Tak lupa ia mengingatkanku akan tugas manusia di muka bumi
ini untuk apa. Tidak mudah bagi kita mendapatkan sahabat yang bermanfaat,
karenanya jagalah erat-erat tali silaturrahim dengan sahabat yang seperti ini.
Sebuah pelajaran yang sangat berharga kudapatkan
darinya,"Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Bodoh itu biasa tapi
bagaimana kita menjadi luar biasa dengan menyadari keawaman kita dan kita
belajar lebih giat lagi."
Semangat dan kecintaannya untuk tidak jatuh kepada kejahilan
dulu terkadang membuatku malu sendiri. Suhanda memang salah seorang fighter
sejati.
Senja tadi, saat aku mencoba merangkai kata tentang dirinya.
Suhanda meneleponku. Dan ia pun bercerita tentang kelahiran putranya, Muadz bin
Suhanda. Ia memintaku memanggilnya Abu Muadz (bapaknya si muadz).
"Nanti putra ana manggil antum Mamang (paman). Terus,
antum kapan nih?" Aku hanya tersenyum bahagia mendengarnya. Tidak mau ikut
terprovokasi dengan pertanyaannya.
Ia pun bercerita tentang persalinan putranya. Hari Kamis,
dua hari menjelang 'Idul Fitri, tepatnya 27 Ramadhan 1433 H atau 16 Agustus
2012. Dalam proses persalinannya putranya mengalami keracunan air ketuban.
Begitulah yang dikatakannya, aku sendiri tidak terlalu faham tentang istilah
keracunan air ketuban. Mohon dimaklumi.
Menurutnya, istrinya kehabisan tenaga saat mengejan. Dan
bayinya tidak bisa keluar. Namun,
alhamdulillah sang bayi selamat walaupun dengan kondisi berwarna kuning dan
belum bisa menangis sejak jam 04.00 sore, pasca lahir. Akhirnya, tepat pukul
03.30 dini hari, tangisan sang bayi pun pecah. Berikut pecah pulalah kepanikan
dan kekalutan Suhanda.
Hampir terlupa, selama menetap di ma'had Sukabumi. Ustadz
Suhanda bukan hanya sebagai da'i "agama" tapi sekaligus da'i ahli
masakan Arab. Saat para Syeikh Arab datang ia-lah yang memegang peranan
terpenting dalam hal menu jamuan para syeikh.
Namun, senja tadi pula ia mengabariku jika ia akan kembali
ke Banten, kampung halamannya. Ia akan berdakwah di sana. Aku menyarankannya
untuk membuka rumah makan ala Arab.
Selain pulang kampung untuk berdakwah, ternyata ia pun
mengkhawatirkan kondisi kedua orang tuanya yang sepuh dan sakit-sakitan. Aku
sangat iri dengan Suhanda. Semoga kita bisa meneladaninya.
Persahabatan itu indah. Persaudaraan muslim itu sangat
indah. Jika kita menyadari keindahannya mari kita jaga persaudaraan ini
seerat-eratnya. Cintailah saudaramu kerana Alloh.
Esok aku akan bercerita tentang sahabatku yang lain, Amin
Rozak. Da'i asal Bima yang gugur saat kuliah di Yaman. Terima kasih telah
mmbaca cerita miniku yangg tidak bermutu ini. Tapi ya sekali lagi. Aku tidak
peduli dengan istilah bermutu atau tidak bermutu. Yang terpenting, aku terus
berkarya dan melatih bakat menulisku. Semoga saja aku bisa menjadi penulis
hebat. Semoga. Amin
Ancol Memory, medio sept '12. 02:30 AM
Komentar