Saat angin malam sebarkan kesejukannya. Saat rembulan mulai
tampakkan senyuman purnamanya. Aku masih duduk di sini. Di taman kecil depan
rumahku, menatap kesunyian langit yg bertaburan bintang. Keheningan segera
memagut anganku.
Kebiasaanku menatap langit malam menandakan hatiku sedang
dilanda keresahan. Iya memang, aku resah nan gelisah. Badai resah. Bukan tanpa
sebab keresahan ini hantui diriku. Aku memikirkan Purnama. Aku takut terjadi
apa-apa dengannya setelah suaminya mendengar langsung dariku tentang hubunganku
dengan purnama.
Baiklah, aku tak ingin memperpanjang cerita. Purnama
adalah... Ah, aku malu untuk mengatakannya padamu, Kawan. Hmhmhm.. Purnama
adalah kekasihku.. Bukan saat ini, tapi dulu, dulu sekali, sewaktu SMA. Iya,
Purnama adalah my first love saat SMA. Dan aku jua adalah cinta pertamanya. Ah,
jujur. Aku malu sebenarnya, kenapa sampai ada sangkut pautnya diriku dengan
masa laluku, dengan Purnama dan suaminya. Padahal masa SMA sudah lewat lima
belas tahun yang lalu.
Tapi, ya sudahlah, tiada salahnya aku mencurahkan
keresahanku padamu, Kawan. Akan ku ceritakan sekarang, tapi tunggu sebentar aku
ambil dulu diary hijau masa SMA-ku yang penuh kenangan. Tentu saja kenangan
bersama Purnama.
---***---
Dua hari yang lalu...
Usiaku kini tepat tiga puluh empat tahun. Aku belum menikah.
Tak usah kaget, Kawan. Tak usah juga kalian tertawai diriku. Hidup memang
pilihan. Dan menikah belum menikah adalah pilihan juga menurutku. Dan aku belum
menikah sekarang di usiaku yg ke-34 adalah pilihan hidupku. Tentu saja bukan
tanpa sebab. Aku lebih memilih menyelesaikan S3-ku dahulu. Iya, aku memang
lebih memilih pendidikan dibanding memilih seorang pendamping hidup.
Aku duduk di sini, di depan laptop Dell merahku. Di sebuah
taman kecil sebuah kafe, hotel berbintang lima di Djakarta. Hotel ini punya
kenangan tersendiri bagiku. Aku mengenalnya semenjak lulus SMA. Aku bekerja di
sini sebagai house keeping, tentu saja sambil mengambil perkuliahan kelas malam
sebuah kampus swasta di Salemba. Bukan keluargaku tidak mampu membiayai kuliah
ku, tapi aku pikir, dengan sikap mandiriku aku lebih mencintai hidupku, lebih
menghargai peluh dan kerja kerasku. Dan tentu saja lebih cinta mati dengan
kuliahku.
Hampir empat tahun aku bekerja di hotel ini. Sampai lulus
kuliah. Masih teringat jelas olehku, saat awal-awal kerja di sini. Aku sering
diledekin rekan-rekan kerjaku karena gendutnya tasku saking penuhnya dengan
buku. Aku tidak marah, aku hanya berkata,"Liat saja nanti, aku akan
kembali lagi ke sini sebagai bos."
Aku tersenyum bila mengingat semua itu. Aku kembali ke sini
memang bukan sebagai bos, tapi sebagai tenant yng butuh pelayanan, tentu saja.
Rekan-rekan kerjaku pun masih ada di sini. Terkadang saat Pa' Mateo tidak ada.
Ku ajak mereka makan bareng. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah lupa pada
mereka. Pada Pa' Mateo saja aku masih ingat, terutama dengan logat -Italia -
Indonesianya.
Aku duduk membelakangi pintu masuk taman. Sengaja, biar aku
tidak terganggu lalu lalang pengunjung. Apalagi jika pengunjungnya serba
bening. Satu kalimat pun nampaknya tidak akan bisa ku lanjutkan disertasiku
ini. Taman ini walaupun kecil tapi karena dikelilingi pohon-pohon kehijauan,
nampak begitu asri dan menyejukkan. Makanya aku sendiri tak pernah bosan untuk
duduk alone di sini.
Aku merasakan ada beberapa pengunjung yang datang dari arah
belakangku. Tercium wangi parfum bunga mawar. Ah, wanginya membuatku sedikit
kaget, mengingatkanku pada seseorang. Ku tatap punggung tiga orang yang
melewatiku. Seorang ayah bertubuh tambun, seorang ibu langsing dan modis yang
sedang menggandeng seorang gadis remaja. Mungkin putrinya. Gadis remaja itu
melirikku. Gadis yang sangat cantik. Aku sejenak terpaku melihat wajah pualam
gadis ini. Wajah yang sangat familiar bagiku. Entahlah..
"Ayah ke toilet dulu ya sebentar" Suara bass sang
ayah tambun itu terdengar keras.
Aku menggerutu. Terganggu sudah. Resiko. Ku palingkan
pandanganku, melepas lelah mataku yang hampir seharian tak pernah lepas dari
monitor laptop. Ku topang daguku dengan tangan kananku. Sekilas ku tatap
sekelilingku. "Hah.." Tanpa sadar aku berseru. Itu.. Itu Purnama.
Benarkah itu Purnama?? Ku coba mengembalikan kesadaranku. Hatiku penuh gemuruh
kekagetan.. Mimpikah ini? Begitu kurusnya dirinya. Tapi kecantikan alaminya tak
pernah berubah. Wajah yang selalu ku rindukan.
Hampir lima belas tahun tak bersua. Dia kini sedang duduk di
depanku dengan putri kecilnya. Aku yakin dia Purnama. Tanpa sadar ku langkahkan
kakiku yang berasa terbang.
"Purnama.." Walaupun ku tahan suaraku agar tidak
terdengar penuh rindu, tetap saja nada lirihku bak merintih mengharu biru
merindu.
"Iya.." Bak sebuah sinetron, saat dia tengadahkan
mukanya sambil menjawab "iya" lalu dia terdiam membisu, raut
kekagetan tergambar jelas dari kesayuan matanya. Hampir tak kuat aku menahan
pertemuan syahdu ini.
"Aku Rizqi.." Kataku bergetar syahdu. "Masih
ingatkah padaku, Purnama? Kemanakah dirimu saat pesta perpisahan usai? Aku..
Aku mencarimu kemana-mana. Rumahmu pun
sepi. Aku mencarimu." Terbata-bata aku memberondongnya dengan pertanyaan.
Aku benar-benar rindu padamu, jerit hatiku. Aku ingin sekali meraih tangannya.
Ku lihat matanya mulai sembab, dia hampir menangis. Benarkah dia menangis
untukku?
Terdengar langkah berat mendatangi, kulirik sekilas,
"Suamimu?" Tanyaku. Purnama mengangguk, sambil menundukkan mukanya,
aku melihatnya menghapus air mata. Ah, aku yakin dia menangis untukku.
"Selamat sore, Pak!" Salamku berbasa-basi. Suami
Purnama tersenyum padaku.
"Sore. Nampaknya mas kenal dengan istri saya"
Balasnya.
"O iya, saya teman SMA-nya" Jawabku jujur.
"Oh ya, wow teman SMA, sudah lama sekali. Kenalkan saya
suaminya, saya Bayu."
"Saya Rizqi." Ku sambut jabat tangannya. Terlihat
kaget saat dia mendengar namaku.
"Siapa, Mas? Rizqi?" Ada nada permusuhan dalam
suaranya, terlihat juga dari mukanya yang memerah. Entah aku tidak tahu penyebabnya.
Aku hanya menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
"O.. O iya, Mas Rizqi. Silahkan duduk Mas, sambil
ngobrol-ngobrol sebentar." Dia mencoba mengendalikan suasana hatinya. Aku
tahu itu. Si tambun ini ku lihat melirik Purnama dengan mendelik marah. Purnama
hanya duduk bersenda gurau dengan putri remajanya. Terlihat berpura-pura seolah
tak melihat kami.
Aku dan Bayu pun terlibat percakapan basa basi, sekedar
mendinginkan kekakuan suasana. Ngalor ngidul membahas tentang pekerjaanku dan
tentu saja tentang statusku. Single apa doble. Ah, sebenarnya agak malas bila
ditanya,"Mas Rizqi udah nikah apa belum?" Dari usia 25 sampai
sekarang sepertinya pertanyaan itu pertanyaan wajib kawan-kawanku. Jadi sebal.
Dan ternyata suami Purnama, Bayu ini seorang anggota DPRD
Kabupaten Lebak. Pantas saja tambun benar, anggota dewan yg terhormat toh.
Begitulah basa basi kami berdua. Dan saat aku pamit hendak
pulang, Bayu meminta nomor handphone-ku. Entah apa maksudnya, aku tidak peduli.
Laiknya sopan santun pergaulan, aku pun meminta nomor handphone Bayu. Jika saja
tidak malu, tentu saja aku akan bertanya
berapa nomor handphone Purnama.
Ku langkahkan kaki engganku. Aku ingin sekali mengobrol
sejenak lagi dengan Purnama. Tapi aku tidak enak hati dengan si tambun ini. Aku
hanya ucapkan kata perpisahan,"Purnama, semoga kita bertemu
kembali.." Purnama hanya tersenyum. Senyuman kepahitan yang ku rasakan.
Aku tahu, matanya menyiratkan pertanyaan besar untukku dan (mungkin) kangen dan
rindunya untukku. Aku tahu itu.. Aku lelaki sensitif. Aku bisa rasakan itu.
---***---
Bersambung... (gak tau kapan nyambungnya...)
Komentar