Semilir angin senja
taman kampus nan sejuk membuai khayalan indahku. Aku tersenyum. Sudah lama aku
tidak pernah merasakan sejuknya angin senja di taman ini. Kilasan
kenangan-kenangan indah nan romantis hilir mudik dalam anganku.
Hmmm...dua puluh tahun
yang lalu taman ini menjadi saksi indahnya kisah romantisku. Ah, kutundukkan
wajahku mencoba melepaskan diri dari segala kenangan yang menyiksa. Kucoba
menahan tumpahnya air mataku. Ada
kepiluan yang mencoba mengambil hatiku kembali.
Kutarik nafas
sedalam-dalamnya. Sejuknya udara menyejukkan rongga dadaku. Aku mencoba
tersenyum semanis-manisnya. Aku tak ingin terlihat sedih saat bertemu dirinya.
Ya, aku memang sedang
menunggu seseorang. Bukan untuk bernostalgia. Aku menunggu seseorang yang
sangat istimewa, seorang mahasiswi teladan di kampus ini, seorang gadis cantik
nan jelita, seseorang yang lebih kucintai dibanding diriku sendiri, seorang
permata hatiku. Rasanya aku siap mati untuk gadis ini. Memang. Apa pun akan
kuberikan untuk gadis spesial ini.
Dadaku berdebar
kencang saat kulihat gadis istimewa itu terlihat sedang berjalan ke arah taman
kampus. Aku memang hendak memberinya kejutan, jadi gadis itu tidak tahu jika
aku menunggunya. Gadis itu terlihat kurus walaupun kejelitaannya tidak pernah
berkurang. Ingin rasanya aku berlari memeluknya. Kukuatkan hatiku agar tidak
menangis. Ia pasti akan sangat kaget melihatku.
Dan benar saja, sempat
tertegun melihatku seolah mimpi. Ia langsung berlari ke arahku, memeluk diriku.
"Ayah... kenapa ayah tidak mengabarkanku jika hendak pulang?"
Gugatnya sambil terisak. Mataku yang dari tadi menahan tumpahan air mata tak
bisa menahan lagi. Aku menangis. Tak sempat aku menjawab pertanyaannya. Kupeluk
dan kucium kepalanya. Aku kangen. Aku rindu permataku. Hampir setahun tak
bertemu membuatku tersiksa. Sepeninggal istriku hanya ia yang ku miliki. Aku
mencoba menguasai diriku kembali. Aku tahu beberapa orang di taman ini
memperhatikan kami.
Kulepaskan pelukanku
dan menghiasi wajahku dengan senyuman. Kurapikan jilbabnya yang sedikit miring
gara-gara pelukan rinduku. "Maafkan ayah, sayangku." Kupandangi
lekat-lekat wajah pualam putriku, Permata. Aku tersenyum bahagia.
"Kok ayah kenapa
senyam senyum? Apa ada yang aneh dari penampilanku ya ayah?" Permata
cemberut lucu.
"Hehehe.."
Aku tertawa bahagia. Sangat bahagia. "Ayah serasa mimpi punya putri begini
cantiknya.." Aku mencoba memuji. Kuajak Permata untuk duduk di kursi
taman.
"Wah.. ayah baru
tahu ya.. Ya iyalah ayah, aku cantik, siapa dulu dong mama-nya." Jawabnya
manja. Aku tertegun mendengar dirinya menyebut mama-nya, mendiang istriku.
Kutarik nafas dalam-dalam. "Benar sayang, kamu memang mirip mama."
Jerit batinku dalam diam.
"Ayah kangen ya
sama mama?" Permata nampaknya tahu isi hati ayahnya. Aku terdiam.... dan
mencoba tersenyum. "Ya iyalah masa ya iya dong..hehe.." Aku mencoba
mengalihkan pembicaraan yang sedih. Tak ingin larut terus dalam kedukaan.
"Oiy ayah,
katanya beasiswa ayah setahun, kok cepet sekali sih beresnya? Ayah DO ya?hihihi..."
Sifat jenaka Permata menyenangkan hatiku. Sifat jenaka dan manjanyalah yang
selalu membuatku tak bisa tidur nyenyak di negeri orang.
Aku tersenyum,
"Kalau ayahnya di DO berarti ayahnya bodoh dong, kalau ayahnya bodoh trus
putrinya.. hehe.." Kami tertawa bersama..
"Ayah belajar
super quantum biar cepet ketemu Permata." Sejenak aku terdiam..,"Ayah
kangen permata." Nada suaraku terasa memilukan. Terlihat permata hampir
menangis. Ku belai kepalanya yang menyandar di bahuku.
"Ayah....,
Permata kangen mama." Perih hatiku mendengar lirih kerinduannya.
"Ayah juga
kangen, sayang..." Kenangan yang memilukan bila teringat. "Nanti
besok kita ziarah ke mama ya.." Sejuta kenangan melintas, termasuk
kenangan di taman ini bersama mendiang istriku, Berlian. "Iya, ayah"
Lirihnya.
"Aih, ayah."
Seruan Permata membuatku kaget. "Permata hampir aja lupa, hari ini kan hari pertama pameran
buku, ISLAMIC BOOK FAIR di Istora Senayan. Ayo ayah kita kesana. Permata mau
beli buku-buku Prof. Dr. Muhammad Naquib Al-Attas, Ziauddin Sardar, sama novel
Orpan pamuk, My Name is Red and novel Lolita . Ayo ayah. Permata butuh banget
bukunya." Permata menarik-narik tanganku. Gadis yang manja tapi aku
bahagia melihat dirinya begitu antusias terhadap buku. Aku tersenyum...
-----****-----
Kami adalah keluarga
kecil. Empat tahun yang lalu sebelum kecelakaan yang merenggut istriku
tercinta, kehidupan keluarga kami penuh kebahagiaan dan keceriaan. Aku sebagai
suami atau kepala keluarga mencoba memposisikan diriku bukan saja sebagai suami
tapi sebagai sahabat, rekan, teman, partner, teman curhat istriku dan putriku
satu-satunya.
Hal apa pun, perihal
apa pun selalu kami selesaikan dengan musyawarah alias ngobrol bertiga. Tak ada
yang menggurui, tak ada penasihat, semuanya sama punya hak berpendapat,
semuanya menyatu dalam kesatuan utuh keluarga kecil, kami.
Dan, kebahagiaan,
keceriaan dan kekompakan kami bertiga sirna saat kecelakaan merenggut nyawa
istriku, partner hidupku. Saat meninggalnya aku tidak menangis, terlalu kuat
hatiku dengan penerimaan terhadap takdir Tuhan. Sehari, dua hari, tiga hari,
barulah ku rasakan kesedihan dan kepiluan yang sangat. Dan aku merasa kesepian
tanpanya. Benar kata orang, rindu itu akan ada saat dia tiada.
Kepiluan hatiku semakin
menjadi setiap kali ku lihat putriku. Tak tega rasanya melihat dirinya yang
masih butuh kasih sayang seorang ibu harus belajar dewasa tanpa seorang ibu.
Hanya Allah-lah tempatku mencurahkan segala kepedihan dan kepiluanku. Dan tentu
saja blog sederhanaku, tempat ku tumpahkan segala ide-ide brilianku lewat
laptop tuaku ini.
Komentar