Gadis berjilbab ungu yang duduk di depanku ini sungguh sangat
mempesona jiwa mudaku. Bidadari bumi terindah yang pernah kulihat. Mata para pengunjung pun
tak henti-hentinya melirik, tak terkecuali diriku. Ekor mataku tak kuasa
menolak keindahan ini. Aku tersenyum. Kecantikannya begitu khas... Kebangiran hidungnya
dan kelentikkan matanya pastinya membuat iri para wanita.
Di bawah lampu taman yang gemintang, wajahnya bak cahaya
purnama rembulan malam. Hmhm.. Tak mudah menemukan seorang wanita berjilbab di
kota ini. Ingin sekali hatiku menyapanya. Sekedar sapaan salam dan ia
menjawabnya sudah cukup bagiku. Atau sebuah kata "boleh" jika aku
memotretnya. Aku bisa merasakan betapa gatalnya kameraku ini.
Siapakah gadis ini? Aku sangat penasaran sekali. Aku ingin
mengenalnya lebih jauh lagi. Hmhm.. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang.
Wajahku memerah saat seorang lelaki paruh baya dan seorang
gadis kecil menghampirinya. Dan gadis kecil itu memanggilnya..
"bunda". Hmhmhm.. Sungguh tidak beruntung diriku. Sejak tadi siang
hingga malam ini kutunggui dirinya, aku ingin tahu dimana rumahnya.. Hmm..
Ternyata ia seorang ibu muda..
Agak sedikit miris dan nyinyir melihat betapa tuanya suami
ibu muda ini. Tak pantas. Sangat tidak cocok sekali. Lelaki paruh baya ini
memang terlihat gagah dan berkelas. Pastinya lelaki ini seorang pengusaha atau
pejabat tinggi. Hmhm.. Wanita sama saja silau dengan harta dan jabatan.
Kulangkahkan kaki lelahku. Seulas senyuman kucoba hiasi
wajah muramku. Biarlah.. Suatu saat nanti bidadari bumi terbaik pilihan Alloh
itu pasti akan datang. Semua akan indah pada waktunya..
Simfoni nada sms menyadarkanku tuk berpijak kembali ke bumi.
Khayalan kemudaanku membuaiku terlalu dalam. Kubaca sebuah sms, ternyata dari
Ustadz Hasan."Akhie, malam ini antm ditunggu di rumah ana. Penting!"
Seulas senyuman kembali terukir indah, mengukir paras syahduku. Aku pikir
inilah senyuman terindah dan termanisku. Hmhm..
"Ustadz, aku mengkhawatirkan diriku. Hidup di Jakarta
tak mudah bagiku. Terlalu banyak godaan yg bisa membuaiku hingga lupa dan
lalai. Aku mohon solusinya, Ustadz." Itulah smsku seminggu yang lalu. Sms
curahan hatiku pada murobbieku..
Dan aku tahu, smsku inilah sebab musabab ustadz ingin
bertemu denganku. Hmhm.. Getar-getar sejuta rasa bersatu ingin membuncah dan
memecahkan rongga dadaku. Rasa "dewasa" segari jiwaku. Segar nian.
"Bismillah" kuucapkan kata sakti ini saat kunaiki
motor tuaku. "Ya Alloh niatku karena-Mu, ridhoilah perjalananku."
hatiku merintih dalam do'a terkhusuk yang pernah kupanjatkan. Separas samar
seorang gadis berjilbab terbayang dalam anganku. Siapakah dia? Semuanya masih
tanda tanya. Samar. Entahlah..
Ceramah "Persiapan Menuju Pernikahan" Ustadz Anis
Matta begitu mendayu-dayu menyapa gendang telingaku. "Janganlah mencari
pasangan yang ideal tapi carilah pasangan yang tepat dengan bingkai kepribadian
kita."
Kuucapkan salam dengan khidmat. Senyuman cerah ustadz
membuatku tertunduk khusyuk. "Silahkan masuk akhie, bagaimana kabar
antum?"
"Ana alhamdulillah bi khoir, Ustadz." Jawabku
singkat. Kumandang adzan terdengar jelas dari mushola mungil di ujung jalan.
"Ayo kita sholat dulu, kita bicarakan nanti maksud ana
menyuruh antum datang ke sini." Ajakan ustadz hanya membuatku semakin
dalam menunduk. Semilir angin ashar menghanyutkan aku dalam kesyahduan cinta.
Aku pikir jamaah ashar sore ini hanya kami berdua. Telingaku
lamat-lamat mendengar desahan dzikir di balik tabir hitam pemisah jamaah ikhwan
dan akhwat. Entahlah.. Pikiranku bercabang dan mengawang. Jantungku berdebar
kencang seolah ingin meloncat dan berlari keluar rongga dadaku. Suara siapakah
di balik tabir itu? Ah, pikiranku terlalu jauh..
Ba'da dzikir ustadz memanggilku tuk mendekatinya. Ia telah
duduk santai bersandar pada dinding dekat tabir pemisah itu. Duh, lemas nian
lututku tuk melangkah. Aku gugup. Aku nervous. "Ya Alloh.., tenangkanlah
hatiku. Tolonglah hamba." Hatiku merintih.
"Ummie.." Suara ustadz memanggil, mungkin Ummu
Raihan, istrinya. "Sudah siap belum?" Aku masih belum faham maksud
pertanyaan ustadz kepada istrinya. Aku hanya terdiam sambil menundukkan wajahku
yang saking jengah dan nervousnya. Tentu saja hatiku tak lepas dari dzikir.
"Sudah, Abie." Terdengar suara wanita, Ummu Raihan
pastinya. Ustadz menarik nafas dalam-dalam. Terasa jelas hendak mengatakan
sesuatu yang teramat penting. Lirih terdengar ustadz berdzikir basmalah.
"Akhie.." Aku tersentak. Kaget. Kupandang ustadz
sekilas. Nampak sekulum senyum tersimpul.
"Menyambung sms antum kemarin. Ana bersyukur sekali
antum sudah mempercayakannya kepada ana." Ustadz berhenti sejenak, menarik
nafas kembali.
"Di balik tirai ini, ada seorang akhwat yang juga
memiliki niat yang sama seperti antum. Afwan, kemarin ana tidak sempat
mengirimkan biodata akhwat ini. Silahkan antum melihatnya di balik tirai
ini." Aku terdiam laksana patung. Tatapanku kosong menekuri karpet merah
di depan kakiku. Siapkah aku? Siapkah aku melihat bidadari bumi di balik tirai
ini?
"Akhie!" Kembali aku tersentak kaget. "I..
Iya, Ustadz." Aku tergagap. Kupandang ustadz untuk meyakinkan hatiku.
"Iya, nadhor." Ucapan dan anggukan ustadz meyakinkanku. Kusibak
perlahan tabir hitam ini, lemah nian tanganku seolah tiada bertenaga. Laksana
sebuah adegan film. Tiap adegan berlalu dengan lambatnya.
Tabir tersibak. Nafasku lelah sekali. Gemuruh dadaku bak
hujan badai. Aku ingin sekali mengakhiri babak hidup yang seperti ini. Sangat
melelahkan jiwa mudaku. Nampak Ummu Raihan tersenyum padaku. Kuanggukan
kepalaku. Sesosok wanita berjilbab hitam duduk di samping kanannya. Tertunduk
dalam sekali. Membuatku tak bisa melukiskan parasnya. Hanya kulihat sekilas
betapa merona merah pipinya.
Kutatap Ummu Raihan. Ia mengangguk sambil menoleh kepada
wanita di sampingnya. Dan kudengar suaranya lirih, "Afwan ukhtie, mohon
diangkat kepalanya sedikit." Adegan nadhor yang sangat indah. Aku
tertunduk tak berani menatap langsung wanita di samping Ummu Raihan.
"Akhie." Suara Ummu Raihan menyadarkanku. Kuangkat
wajahku. Dan sebuah seruan takbir nan lirih hampir tak sadar telah keluar dari
bibirku. "Allohu Akbar". Aku pernah melihat gadis ini. Bersama suami
dan putri kecilnya. Gadis terjelita yang pernah kulihat. Aku tersenyum kelu.
Kuanggukan kepalaku dan kulangkahkan kakiku menuju ustadz kembali. Sejuta
pertanyaan wara wiri dalam pikiranku.
Kutarik nafas sedalam-dalamnya. Hampa. Pikiranku kosong
melompong. Hampa tak tentu arah. Ustadz nampak tersenyum riang. Kewibawaan
suaranya terdengar mendayu-dayu.
"Akhie, sebelum ana bertanya lebih lanjut. Ana ingin
menjelaskan tentang akhwat ini. Beliau seorang akhwat yang ingin menyempurnakan
agamanya. Ingin menikah karena mengharapkan ridho Alloh. Ia tinggal bersama
ayah kandungnya yang sekarang sedang dirawat di RSCM. Ibunya sendiri telah
meninggal saat melahirkannya. Ia juga tinggal bersama putrinya." Ustadz
tersenyum sejenak. Nampak senyuman menggoda.
Aku tahu ustadz menunggu reaksiku. Hmhm.. Ternyata gadis ini
seorang yang pernah menikah. Seorang janda. Nafasku terasa berat. Tarikan
nafasku tidak sesemangat tadi. Ah, sudahlah. Mungkin sudah takdirku menikah
dengan wanita yang sudah pernah menikah.
"Ia masih gadis. Belum pernah menikah." Heh.. Aku
benar-benar bingung dengan perkataan ustadz. Punya anak tapi belum pernah
menikah, masih gadis pula. Membingungkan sekali. Atau mungkin ia pernah???
Tidak berani aku membahasakannya. Senyuman menggoda ustadz semakin
menjadi-jadi. Wajahku terasa agak panas dan terasa memerah. Mendekati kesal.
"Akhie, bagaimana menurut antum, maukah antum ana
jodohkan dengan akhwat ini?" Kususuri karpet merah di dekat kakiku.
Kuhembuskan nafas beratku dan kuhirup udara sore agak lama. Mencoba
menghilangkan resahku. "Bismillah." Dzikir lirihku.
"Ana meyakini seorang murobbie akan memilihkan seorang
akhwat yang baik. Dan ana dengan mengucapkan bismillah menerima...menerima
pilihan ini." Kepalaku semakin dalam menunduk.
"Antum serius, akhie? Antum bisa menolaknya." aku
terdiam sejenak. Kuanggukan kepalaku, "Ana setuju, Ustadz."
"Alhamdulillah.." Terdengar ustadz tertawa, di
balik tabir pun terdengar Ummu Raihan tertawa lirih. "Ana jelasin kembali.
Antum pasti bingung. Akhwat ini memiliki putri angkat berumur enam tahun.
Keluarganya memiliki beberapa yayasan yatim piatu, putri angkatnya adalah salah
satu penghuni yayasan yang dikelolanya."
Aliran darahku mengalir begitu kencangnya. Desiran darahnya
terasa basahi seluruh jasad rapuhku. Kupilin-pilin jari tanganku. Termangu
dalam senja yang mulali temaram.
"Akhie, ada yang mau ditanyakan lagi?" Aku
tergagap. Aku semakin tersengat dengan pertanyaan selanjutnya. "Silahkan
antum bertanya langsung pada akhwatnya, jika antum merasa ada yang harus
ditanyakan."
"I.. Iya, Ustadz. Sudah cukup." Aku tak bisa
menutupi kegugupanku. Aku terdiam sejenak. Dan tiba-tiba.. "Oh iya,
Ustadz. Ana belum tahu namanya." Kata-kataku lirih sekali, tapi nampaknya
sudah cukup terdengar Ummu Raihan. Terdengar tawa tertahannya. Wajahku memerah.
Malu.
"Hmhm.. Antum tanya saja sendiri." Tak
henti-hentinya ustadz menggoda. Ia nampak tersenyum puas. Mungkin merasa
bahagia telah mencomblangkan mutarobbienya. Entahlah.. Aku sendiri malah sedang
mengalami kebingungan dan tentu saja kegugupan. Terpaksa kutahan maluku.
"Afwan ukhtie, namanya siapa y?" Plong nian hatiku
saat kutumpahkan pertanyaan singkat ini.
"Zakya Fatimah Said." Amboi. Indah nian suara
bidadari bumi ini. Merdu nian mendayu-dayukan gendang telingaku yang merindu.
Aku pikir inilah suara wanita termerdu yang pernah kudengar. Bara cinta segera
memagut jiwaku yang sepi. Bara rindu memelukku begitu eratnya dan tak ingin
melepasku selamanya.
"Akhie, اِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ
bulan depan kita bertemu walinya, ayahnya." Suara ustadz terdengar nyaman
sekali.
"Sebulan, Ustadz? Apa tidak terlalu lama?" Tanyaku
lirih. Ustadz tersenyum.
"Ya sudah, besok kita bertemu ayahnya." Jawab
ustadz riang.
"Apa tidak terlalu cepat, Ustadz? Afwan.." Kembali
aku menyela.
"Hmhm.. Antum ini bagaimana. Sebulan terlalu lama,
sehari terlalu cepat. Antum maunya bagaimana?" Aku tertunduk penuh
kebimbangan.
"Iy, Ustadz. Tidak apa-apa. Besok اِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ ana bisa."
"Nah, begitu dong! Dalam urusan ibadah mah antum harus
secepat kilat." Terdengar ustadz terkekeh.
Temaram senja menyajikan sebuah cerita terindah dalam
sejarah perjalanan cintaku. Kesyahduan memagut jiwa mudaku. "Ya Alloh
permudahkanlah urusanku."
Senandung bait Seismic mengalun merdu membuai para pecinta..
"Saat dua hati berjanji tuk arungi hidup di jalan-Nya.
Alloh kan berkahi mereka kala dalam doa kala dalam asa. Menjadilah mentari
bening pagi terangi bumi terangi hati. Menjadilah keheningan malam kala berjuta
insan larut dalam doa. Selamat datang kawan di duniamu yg baru kudo'akan semoga
bahagia."
Djakarta, 02 Sept '12
Komentar