Beginilah Hidup Mengajarkan Kami
"Akhie, lamaran ana ditolak oleh seorang akhwat dari Rangkasbitung." Ucap seorang Al-akh di seberang telepon suatu senja. Piuh.. Huh.. Kuhembuskan perlahan nafas beratku.
Hidup memang misteri. Hidup memang pilihan. Ketika seorang sahabat dekatku beberapa kali gagal menikah. Akun gmailku semarak dengan biodata-biodata akhwat yang masuk. Tentu saja nasib sahabatku itu lebih baik dari pada bersikap pengecut tak mau mencoba. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.
Kutatap mentari yang sebentar lagi terbenam. Ada banyak hal yang kupikirkan dan kurenungkan dalam perjalanan hidup ini. Termasuk merenungkan kisah sahabatku ini.
"Akhie Haidar, mungkin bukan akhwatnya yang menolak tapi keluarganya." Jawabku penuh simpati nan empati. Kali ini aku menerima keluh kesah dari salah seorang sahabatku.
"Iya, akhi. Dari informasi ustadz ana, keluarganya yang menolak." Ujarnya lirih. Nada suaranya terasa menyimpan beban di hati. Tentu saja akibat penolakan itu melukai hatinya.
"Akhie, kalau boleh ana tahu, alasannya apa keluarganya itu menolak?" Tanyaku penuh rasa penasaran sekaligus kesal tentunya. Hari gini ada ikhwan ditolak? Apa kata dunia? Laki-laki yang baik ditolak. Kacau.
"Menurut ustadz ana, uang yang ana kasih terlalu sedikit." Ucapannya semakin lirih. What??? Sekali lagi, Hari gini ada ikhwan ditolak gara-gara duit? Apa kata dunia? Jangan-jangan keluarga akhwatnya kurang waras. Astagfirullah...
"Allohu Akbar." Spontan aku bertakbir. Hatiku benar-benar panas. Orang mau ibadah kenapa malah dipersulit hanya gara-gara duit. Kurang ajar.
"Memangnya antum ngasih berapa juta gitu, akhie?" Kugeleng-gelengkan kepalaku yang tak habis mengerti. Seorang akhwat berani menolak pinangan sahabatku yang gagah ini hanya karena uang. Okelah bukan akhwatnya yang menolak tapi keluarganya. Buatku itu sama saja. Terlebih lagi sang akhwat orang Rangkasbitung. Duuuh, seolah mempermalukan diriku saja.
"Sekian juta, akhie.. " Benar-benar kurang ajar sekali. Uang yang diberikan sahabatku kepada walinya cukup besar bahkan sangat besar untuk ukuran keluarga akhwat atau gadis yang tertarbiyah. Kemungkinan besar keluarganya keluarga yang awam alias "tidak ngaji". Seharusnya dengan kondisi keluarga yang awam, sang akhwat ikut "melobi" keluarganya, artinya ikut berperan meyakinkan keluarganya agar menerima pinangan.
"Memangnya keluarganya minta berapa sih, akh? Keterlaluan amat." Tanyaku dengan nada ingin membantu. Iya, hatiku panas dan agak merasa terhina hanya karena uang seseorang gagal menikah.
"Keluarganya meminta dua kali lipat, akhi." Jawabnya pasrah. Glek. Aku terdiam bengong agak lama. Gila. Aku pikir tambahannya hanya sedikit, ternyata dua kali lipat. Besar sekali (bisa-bisa gw kagak kawin-kawin. Haha.. ). Menguap sudah niatku untuk membantunya. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku.
"Akhie, sewaktu antum ta'aruf, sudah saling setuju kan untuk melanjutkan prosesinya?" Tanyaku mencoba menganalisa kasus sahabatku.
"Sudah, akhie. Ana juga kecewa berat kenapa sampai gagal. Tapi, sudahlah, mungkin bukan jodohnya." Terdengar helaan nafas berat sahabatku seolah pasrah.
"Iya, akhie. Lupakan saja. Akhwat masih banyak kok. Memangnya akhwat dia doang. Mungkin keluarganya tidak pernah mendengar hadits nabi : 'Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.' (HR. At-Tirmidzi)" Ujarku mulai berapi-api.
"Lihat saja nanti kalau puterinya tidak menikah-nikah, baru tahu rasa." Aku memang kesal dan marah sekali. Coba kalian bayangkan, sahabatku ini secara fisik sangat gagah sekali, badannya besar seperti bodyguard dalam film-film laga. Walaupun wajahnya tidak seganteng diriku (ngakak.com) tetapi cukup lumayan gagah dengan bentuk muka yang kokoh. Kurang apa coba? Lalu, ditambah aktivitasnya yang rajin halaqoh, jauh lebih rajin dibanding diriku yang sering beralasan sibuk kerja. Kurang apa coba? Dan pekerjaannya di perusahaan Panasonic yang terkenal dengan elektroniknya. Kurang apa coba? Menyebalkan sekali. Hatiku semakin kesal mengingat Sang Akhwat from Rangkasbitung. Ya Alloh...
"Eh, ane ralat, semoga Alloh memilihkan jodoh terbaik yang sholeh untuk akhwatnya dan mendapatkan keturunan yang sholeh dan sholehah." Ujarku sesaat setelah tersadar ucapanku di atas bisa disebut do'a yang jelek untuk sang akhwat.
"Termasuk antum Ya Akhie. Semoga antum pun segera mendapatkan jodoh terbaik yang sholehah."
"Syukron akhie atas doanya. Semoga ant juga sama. Terus antum sendiri kapan menikah?" Pertanyaannya cukup mengagetkan diriku.
"Lho.. Lho, kok malah nanyain ane? Ini kan lagi ngobrolin masalah antum." Jawabku agak gugup. Hmhmhm...
"Ibadah jangan ditunda-tunda, akhie. Ingat umur antum." Waduh. Mulai gawat ini. Kenapa malah membahas diriku? Kacau.
"Hiiih... Tadi kan kita bahas masalah antum, kenapa sekarang bahas tentang ane? Ngobrolin masalah antum saja. Ya udah.. Kapan-kapan ana hubungi antum lagi ya. Ana mau kerja dulu. Assalamualaikum." Ujarku pamit dengan tergesa.
Hmhm.. Hidup.. Beginilah hidup mengajarkan kami.. Kami para pemuda. Pemuda yang berharap peka terhadap zaman. Zaman yang mulai menua. Menua, termasuk aku dan kamu.
Komentar