Langsung ke konten utama

Melukis Cinta

Catatan Hati Seorang Akhie 31 : "Melukis Cinta"

Sebetulnya siang tadi saat rehat kantor, aku sudah menuliskan tema ini secara panjang lebar. Entah "setan" apa yang membuatku terlupa untuk menyimpannya. Akhirnya, tulisannya pun lenyap tak berbekas. Kesal, tentu saja. But, kesal pun tiada gunanya, kawans. Toh tak akan pernah kembali lagi. Baiklah.. Ikhlaskeun wae.

"Kak, ceritanya yang itu mirip banget dengan kisahku. Bagus banget kak. Aku sangat terinspirasi." Sebuah testimoni terbaca renyah dalam inbox facebookku. Aku pun membalasnya dengan ucapan terima kasih dan tentu saja ucapan ini, "Kak masih belajar nih. Doakan ya semoga kak jadi penulis." Aamiin.

Di samping testimoni positif tentu saja ada juga testimoni bernada negatif. "Gitu amat sih ceritanya, gak logis." Aku hanya tertawa terbahak-bahak membaca testimoni negatif. Bukan berarti aku menolak kritikan atau cacian komentar, tidak. Aku menikmati semuanya. Baik pujian dan kritikan adalah dua sisi mata yang uang tak akan pernah terpisahkan dalam hidup ini.

Aku hanyalah laki-laki biasa namun pemimpi besar. Sesaat tak ingin terlalu peduli dengan sekitar yang memang terkadang terlalu bising untukku. Aku hanyalah salah satu dari sekian pria yang merindukan keheningan di kota metropolitan Djakarta ini. Kota ini terlalu gemerlap. Tidak terlalu cocok bagi pria sepertiku yang doyan menyepi. Dan bagiku, menulis adalah salah satu media batinku "menikmati" kebisingan kota Djakarta ini.

Sebuah kenikmatan tak terpira saat sebuah tulisan berhasil kurangkai. Bahagia sekali. Cobalah untuk menulis! Lukislah butir-butir cinta di hatimu! Kamu akan merasakan sesuatu "taste" yang tak pernah kamu rasakan sebelumnya. Kenikmatan jiwa tiada tara. Kelezatannya maknyus tenan.

Banyak hal yang ingin kuungkapkan malam ini. Namun, tujuan awal tulisan ini adalah berbicara tentang habit (kebiasaan) menulis. Bukan sekali dua kali aku mendengar ucapan. "Duuh, bagaimana sih menulis itu? Aku tidak berbakat sekali untuk menulis."

Perhatikan baik-baik, kawans. Sebuah kesalahan paradigma berpikir terbaca secara vulgar sekali.

Banyak orang salah kaprah bahwa kemampuan menulis itu adalah "given" atau pemberian Tuhan laksana mukjizat dalam konsep kenabian. Kita pun memahami "bakat" seperti "given" ini. Seolah-olah para penulis hebat itu adalah sosok-sosok pilihan yang semenjak lahir dikaruniai dengan kemampuan menulis. Salah sekali, cuy.

Satu hal yang kupahami dari definisi bakat hanyalah sebuah kata, bakat itu adalah "potensi."  Iya, buatku bakat adalah potensi yang Tuhan berikan kepada semua orang tanpa kecuali. Semua orang memilikinya. Semua orang punya potensi untuk melakukan apapun dan untuk bisa apapun.

So, siapapun bisa menjadi penulis. Siapapun mampu menjadi penulis. Siapapun punya potensi untuk menjadi seorang penulis. Asal kita menempuh cara-cara menjadi penulis.

Aku bukanlah seorang penulis. Tak ada satupun karyaku atau tulisanku yang diterbitkan. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, kawans. Aku sedang meniti titian atau langkah bagaiman menjadi penulis itu. Apa langkahku? Hanya satu saja, membiasakan menulis. Itu saja. Tak peduli orang hendak berkata apa tentang tulisanku, yang terutama adalah membiasakan menulis. Prinsipku adalah bisa karena biasa. Aku bisa menjadi penulis karena biasa menulis. Suatu saat akan kubuktikan ocehan murahanku ini.

Karenanya, definisi menulis itu simpel. Sangat simpel. Hanya tiga kata saja. Definisi "Menulis adalah Menulis, Menulis dan Menulis." Kita tidak perlu repot dengan berbagai teori menulis yang berbusa-busa. Menulis hanya tiga kata itu. "Tuliskanlah apa yang ada dalam hatimu, kawans."

Sekali lagi, bisa karena biasa. Biasakanlah menulis sehari satu paragraf atau berapalah. Karenanya, sekarang marak grup-grup menulis dengan nama ODOP atau One Day One Paragraf, sebuah tiruan cerdas dari grup ODOJ Alquran ( One Day One Juz ).

Aku ulangi sekali lagi, aku tak terlalu peduli dengan segala macam komentar atas tulisanku. Bagiku, hinaan atau pujian sama saja nilainya. Karena bukan itu tujuanku saat ini. Saat ini fokusku adalah menciptakan habit atau kebiasaan menulis. Ini yang kukejar.

So, bagi penulis pemula bukan kualitas yang diburu tetapi kuantitas yang dikejar. Perbanyaklah menulis, perkayalah tulisan-tulisan kita. Bermasa-bodohlah tentang bagus atau tidaknya tulisan kita. Fokuslah dengan kuantitas tulisan terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu, kualitas tulisan kita itu akan kita dapatkan. Gaya penulisan kita pun akan terbentuk secara otomatis.

Jangan pernah takut betapa jeleknya tulisan kita. Jelek wajar kok. Kita kan sedang belajar menulis. Untuk sementara, ingat saja peribahasa, "Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu."  Terus menulis tanpa henti walaupun cibiran dan cercaan tertuju pada tulisan kita.

Perhatikan baik-baik, "kualitas tulisan itu selalu berbanding lurus dengan kuantitas tulisan kita." Aku meyakini prinsip ini sepanjang waktu. Karenanya tiap malam Facebook ini kumanfaatkan untuk ngoceh.

"Bisa karena biasa. Bisa menulis karena terbiasa menulis." Tentu saja prinsip ini bisa kita terapkan dalam semua hal, apapun itu. Hidup itu berproses. Dan menjadi penulis adalah sebuah proses pembiasaan menulis.

Cobalah sekarang kamu menulis. Tulislah semua apa yang ada di dalam hatimu. Apapun itu, cacian atau apalah. Tulis semua yang ada dalam hatimu. Kuras semua apapun yang terpikir atau terbersit dalam pikiranmu. Tumpahkan semua unek-unek dalam hatimu. Biarkan tanganmu menari-nari tanpa henti, biarkan saja. Tak ada tipe x atau penghapus apapun. Biarkan saja semuanya.

Sekali lagi, biarkan saja semuanya tanpa harus ada revisi atau edit. Mungkin saat kamu melihat atau membaca tulisanmu nampak jelek dan acak-acakan sekali. Tapi tunggu sebentar, sabar. Cobalah kamu biarkanlah tulisanmu itu seminggu atau dua minggu atau bahkan mungkin sebulan atau beberapa bulan. Lalu, lihatlah.. Betapa indah dan menawannya diksi yang kamu tuliskan itu.

Serius, entah berpuluh kali aku mengalami seperti ini. Terkadang merasa asing dengan tulisan-tulisan lamaku sendiri, "Wuih, bagus banget diksinya. Penulisnya gw apa bukan ya?"

Begitulah, kawans. Kita semua punya potensi untuk menjadi apapun termasuk menjadi penulis. Asal kita meniti titian langkah demi langkah untuk menggapainya. So, tak bosan-bosannya aku mengingatkan, "BISA KARENA BIASA"

Aku masih ingin menuliskan tentang korelasi menulis dengan kesehatan jiwa. Tapi, sepertinya malam terlalu larut. Semoga kita bisa bersua kembali.

Salam "Bisa Karena Biasa"
Your Brother, Muhammad R. Gumilar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 Kasus Korupsi yang Belum Terselesaikan Versi ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tantangan yang tidak mudah dalam pemberantasan korupsi. Nah, di bawah kepemimpinan pimpinan baru KPK nantinya, setidaknya ada 13 kasus korupsi yang harus dibereskan. Berikut ini 13 kasus korupsi yang belum terselesaikan versi Indonesia Corruption Watch: 1. Kasus korupsi bailout Bank Century 2. Suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI 3. Kasus Nazaruddin sepeti wisma atlet dan hambalang 4. Kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain 5. Rekening gendut jenderal Polri 6. Suap program Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemenakertrans 7. Korupsi hibah kereta api di Kemenhub 8. Korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 9. Korupsi sektor kehutanan khususnya di Pelalawan Riau 10. Kasus mafia anggaran berdasar laporan Wa Ode Nurhayati 11. Kasus korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan Freeport Newmont...

Memendam Rasa

Bertahun-tahun aku hidup dalam pendaman rasa yang membuat hatiku resah tak terperikan. Ketakutan jiwa kuanggap hanyalah halusinasi belaka. Akhirnya, kuobati dengan pikiran-pikiran positif bahwa akulah yang seharusnya introspeksi diri. Namun, akhirnya apa yang kupendam selama ini ternyata adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi. Terkadang aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Aku telah tertipu bertahun-tahun oleh seseorang yang aku pikir bisa dipercayai. Mungkin inilah takdirku. Takdir yang harus aku terima sepahit apa pun. Walaupun aku masih geleng-geleng kepala, kok bisa berbuat seperti itu sambil terkesan. Lalu, datang kepadaku tanpa merasa bersalah. Senyum dan tertawa bersama keluarga kecilku. Tak pernah ada yang mengira penipuannya telah berlangsung ribuan hari. Bukan sehari dua hari, tetapi ribuan hari. Ckckckck... Tertidur ribuan hari sepertinya tak mungkin. Terlena dalam keadaan sadar, sepertinya seperti itu. Takdirku... Hari-hari berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ...

Alone

Aku memutuskan untuk pergi berlayar. Kukembangkan perahu layarku. Dan kubiarkan angin pagi lautan menerpanya. Amboi. Indah nian. Tak pernah aku menikmati kesendirianku selama ini. Kehidupan kota terlalu kejam menyiksa batinku dengan segala gemerlapnya. Kini di pagi yang cerah ini aku berlayar di tengah lautan bebas menikmati sisa-sisa hidup yang mungkin tak lama lagi kunikmati. Inilah kebebasanku. Mencumbu alam, menikmati alam.