Ikhtilaf, Ukhuwah dan Kebangkitan Ahlussunnah
Oleh: A. Kholili Hasib
Isu-isu perbedaan di antara umat Islam hari ini mungkin cukup menyulitkan. Tapi tantangannya ada dua; pertama ada sebagian kelompok mengusik perbedaan yang diperbolehkan, kedua ada sebagian kelompok lain yang ‘menghalalkan’ perbedaan yang sebenarnya tidak boleh dibiarkan. Kelompok pertama bisa memicu perpecahan, sedangkan yang kedua bisa mencerabut akar-akar pikiran utama agama Islam. Pada sisi lain Ahlussunnah menghadapi tantangan dari luar; mulai liberalisme, Syiahisasi dan sekte-sekte non-Sunni lainnya.
Dalam Islam, ada perbedaan yang tidak bisa ditolerir, ada juga perbedaan yang diperbolehkan. Terdapat perbedaan yang menyebabkan kerusakan dan perpecahan. Namun ada konteks-konteks perbedaan yang dapat dibolehkan dan tidak sampai merusak sendi-sendi agama. Bagaimana perbedaannya?
Dikisahkan, suatu hari Khalifah Harun al-Rasyid mengusulkan kepada Imam Malik agar mempopulerkan kitabnya, al-Muwatta’, dengan cara digantungkan di Ka’bah. Harun al-Rasyid melihat keilmuan Imam Malik tiada yang menandingi pada waktu itu, sehingga dengan cara itu, madzhab Imam Malik diikuti semua penduduk negeri.
Akan tetapi, Imam Malik secara diplomatis menjawab: ”Jangan Tuan lakukan itu. Sebab sahabat Rasulullah Saw saja sudah berselisih dalam masalah furu’(cabang dalam agama, pen). Lagi pula, umat Islam sudah tersebar di berbagai negeri, sedang sunnah sudah sampai pada mereka, dan mereka juga punya Imam yang diikuti. Harun al-Rasyid pun berkomentar:”Semoga Allah Swt memberi taufiq kepadmu, wahai Abi Abdillah” (diriwayat oleh al-Suyuthi dalam al-Inshaf fi Asbabi al-Ikhtilaf, hal. 42).
Tentu saja imam Malik sangat faham, bahwa memaksakan isu-isu furu’iyah kepada seluruh penduduk negeri akan memancing perselisihan. Sebab, umat Islam ada yang menganut madzhab Hanafi.
Dalam Islam, kita mengenal persoalan-persoalan furu dan ushul. Dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan furuiyyah, para ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya dengan ta’ashub berlebihan jika terjadi perbedaan. Tidak ada tadlil (penyesatan), takfir (pengkafiran) dan tafsiq (menghukumi fasik). Dalam berdakwah, mereka tidak pula sombong atau memaksakan diri agar pendapatnya wajib diikuti semua umat.
Beda hasil ijtihad di kalangan Sahabat juga tidak memicu saling penyesatan dan pengkafiran. Catatan pengkafiran seorang Sahabat terhadap Sahabat yang lain dalam bidang ijtihad, baik ijtihad politik atau fikih, tidak pernah ada.
Tiada seorang pun saling menyesatkan.
Karena semua pendapat Sahabat berdasar dari riwayat yang dipercaya. Mereka pernah terlibat dalam perselisihan, namun mereka tidak pernah terlibat saling mengkafirkan.
Perselisihan dan perpecahan di internal kaum Muslimin disebabkan mereka terlalu kaku menyikapi perbedaan ijtihad dan disikapi dengan fanatis.
Imam al-Ghazali memberi nasihat penting, bahwa perdebatan (jidal) furu akan membawa pada lingkaran kehancuran.
Jidal dalam perkara tersebut merupakan penyakit kronis yang menjadi sebab para ahli fikih jatuh pada persaingan tidak sehat (Ihya Ulumuddin I/41).
Karena dalam jidal akan membangkitkan hawa nafsu, egoisme dan keangkuhan
Kompromi dan saling menerima pendapat dalam masalah furu tidak terjadi jika perbedaannya itu menyangkut persoalan yang prinsip dalam akidah. Sebab, dalil-dalil yang jelas, dan pasti (qath’iy) dalam akidah tidak pernah berubah.
Ajaran bahwa Nabi terakhir adalah nabi Muhammad Saw tidak pernah berubah. contoh jumlah shalat wajib juga tidak akan dikurangi atau ditambahi. Barang siapa yang mengubah, maka tidak boleh dibiarkan karena menyesatkan.
Karena itu, hendaknya umat Islam memahami tantangan terbesar yang dihadapi. Tantangan itu adalah kerusakan pemikiran yang menyebabkan rusaknya akidah. Untuk menghadapinya diperlukan kekuatan ukhuwah.
Jika diurai secara sederhana, masalah yang dihadapi umat sekarang hampir mirip dengan apa yang terjadi pada zaman Imam al-Ghazali atau ketika berkecamuk perang Salib. Yaitu perpecahan karena soal politik, ekonomi, dan madzhab. Umat terbelah karena mereka fanatik terhadap afiliasi politiknya.
Salah satu ‘penyakit’ akut umat sedari dulu hingga kini adalah fanatisme. Virus fanatisme ini menyerang sudut-sudut umat. Karena itu alangkah baik jika mengambil pelajaran dari imam al-Ghazali.
Fanatisme itu hari ini bisa terhadap organisasi, lembaga, majelis ta’lim dan bahkan fanatik kepada ilmu yang dipelajari. Ta’assub terhadap ilmu adalah seseorang mencukupkan diri kepada satu ilmu saja yang ia pelajari. Ilmu fikih saja atau tafsir saja tidak cukup untuk menyelesaikan ‘sejuta’ persoalan umat.
Masalah umat bukan soal fikih saja, atau soal politik dan ekonomi saja. Tapi telah berakumulasi dalam satu problema besar.
Maka, harus ada kerelaan dari ahli ilmu tertentu untuk melakukan ‘silaturahim ilmiah’ kepada ahli ilmu yang lain. Keengganan untuk ‘bersilaturahim’ ini melahirkan keangkuhan dan kesombongan. Inilah penyakit internal yang diperangi oleh Imam Ghazali pada zamannya.
Kebangkitan Islam, harus didasari oleh pemikiran dan akidah yang sehat. Dalam karya-karyanya imam al-Ghazali, reformasi yang dialakukan memiliki kekhasan. Pertama, tulisan-tulisan imam al-Ghazali tidak memuat ajakan kepada kaum Muslimin untuk berjihad (qital) melawan kaum Salib dan bangsa Mongol. Kedua, beliau lebih cenderung melakukan kritik atas diri sendiri (al-naqd al-dzati).
Oleh sebab itu, dia tidak mencari-cari alasan apapun untuk menjustifikasi kelemahan umat Islam serta melemparkan tanggung jawab atas segala keterpurukannya kepada kekuatan-kekuatan asing yang menyerang (Majid Irsan Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, hal.77). Intinya, umat Islam kalah, karena internal umat lemah dan rusak.
Reformasi umat yang dilakukan imam al-Ghazali bertujuan mengikis fanatisme dan membuka sekat-sekat antar umat Islam dengan cara membersihkan hati (tazkiyatu al-nafs).
Maka, kita juga bisa menyimpulkan bahwa titik tolak reformasi Imam al-Ghazali ini tidak berangkat dari politik dan militer. Melainkan memulainya dengan islah al-dzati, reformasi pemikiran internal dan akidahnya. Tugas umat hari ini adalah memahami metodologi ulama dan memahami macam-macam perbedaan.
Wallahu a’lam bis shawab
Komentar