Aku merasa bak bidadari tercantik sedunia saat ia mengatakan keseriusannya untuk segera meminangku. Oh, bahagianya merayakan cinta dengan pernikahan. Sejak itu hari-hariku berbinar indah. Sangat indah.
"Aku ingin menikahimu karena Alloh." Begitulah ucapannya siang tadi. Aku terharu dan tergugu. "Bismillah. Ya Alloh, Permudahkanlah niat kami untuk menyempurnakan agama ini." Amin. Doaku lirih penuh haru bahagia.
Lelakiku ini sangat memesonaku. Aku mengaguminya bukan karena parasnya. Parasnya tergolong biasa-biasa saja. Ia tidak tampan. Aku serius. Tidak semua wanita cantik membutuhkan laki-laki tampan. Dan aku pikir, aku cantik. Tentu saja jangan bandingkan kecantikanku dengan artis.
Hmhm.. Tapi coba saja jika kamu tidak percaya akan kecantikanku, tanyakan saja pada semua laki-laki yang mengenalku. Pasti mereka akan mengatakan,"Oh, Si Neng...., Iya bener, dia cantik dan ayu. Orangnya putih, berjilbab lagi. اِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ sholehah."
Bukan maksudku ujub dan takabbur dengan memuji diri. Bukan. Maksudku adalah dalam mencari pasangan hidup untuk selamanya, kesempurnaan paras itu bukanlah hal utama.
Seperti yang aku katakan di atas. Tidak semua wanita cantik membutuhkan laki-laki yang tampan. Begitu juga sebaliknya. Tidak semua laki-laki tampan membutuhkan wanita cantik.
Sebuah nasehat indah yang selalu terngiang dalam diriku adalah "jika engkau mencintai seseorang karena rupa yang elok, maka cinta itu akan pudar bersama pudarnya keelokan rupa itu...."
Aku mencintai lelakiku dan ingin menikah dengannya bukan karena faktor keelokan rupa. Tapi, karena faktor yang jauh lebih tinggi nilainya dibanding faktor fisik, yaitu kedewasaan dan kematangan jiwanya dalam menghadapi problematika hidup. Faktor ketampanan jiwanya. Kegagahan jiwanya
Maksudku, dalam hidup tentunya kita akan menghadapi berbagai macam problematika kehidupan. Tentu saja tidak mudah menghadapi dan menyelesaikannya. Butuh kematangan dan kedewasaan jiwa. Butuh mental tangguh. Dan aku menemukan mental tangguh itu pada lelakiku. Ia seorang fighter sejati. Dan aku pikir, setiap wanita membutuhkan seorang pemimpin yang petarung sejati.
Terkadang aku sering mengujinya dengan berbagai keruwetan dan masalah yang aku rekayasa sendiri. Dan ia lolos sempurna. Face sih nilainya boleh enam, tapi mentalnya 100. Bagiku, tentu saja.
Oh iya, hampir lupa. Ia pun seorang lelaki yang menjaga kehormatannya dan kehormatan diriku. Tak pernah sekalipun ia menyentuhku. Ia bukan seorang yang sangat faham tentang agama. Tapi ia sangat tahu bagaimana seharusnya seorang laki-laki muslim itu bersikap.
Bagiku, sebuah pernikahan itu bukan hanya kerja cinta, tapi juga kerja ekonomi. Tidak salah jika seorang wanita mencari seorang lelaki mapan secara finansial. Itu keharusan, tentu saja. Matre itu wajib. Aku pun begitu.
Seperti ucapan Pak Mario Teguh yang aku bahasakan sendiri,"Kekayaan itu lebih langgeng dr ketampanan seorang pria. Jadi, pilihlah lelaki kaya dibanding lelaki tampan. Syukur Anda mendapatkan yang kaya sekaligus ganteng. Tampan itu bonus untuk Anda."
Pasti sebuah pertanyaan sudah kalian siapkan untukku,"Apakah lelakimu itu seorang yang kaya raya atau hartawan?" Inikah pertanyaan kalian?
Baiklah aku jawab. "Belum." Lelakiku bukan seorang yang kaya raya ataupun seorang hartawan. Lelakiku belum kaya raya dan belum menjadi hartawan.
Ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Bahkan kuliah pun ia membiayainya sendiri. Aku tahu dengan pasti karena sebelum aku menerima keseriusannya, aku sudah menelitinya dan bertanya pada beberapa kenalannya. Kata kuncinya, teliti, amati dan tanya.
Jadi, jawabannya. Lelakiku belum menjadi orang kaya raya. Dalam bahasa vulgarnya, lelakiku bukan orang kaya.
Ah, nampaknya kalian hendak bertanya lagi. Aku tahu. Pasti ini, "Lalu kenapa kamu menerimanya jika kamu sendiri meyakini bahwa seorang wanita itu harus mencari laki-laki yang mapan secara finansial?"
Sebentar aku ingin tertawa sejenak saja. Maaf.
Kembali kepada curhatanku di atas. Jawabannya, "Karena ia seorang fighter sejati." Itu saja jawabanku. Nanti aku jelaskan. Perutku mules. Sebentar ya kawan.
Maksudku begini. Ketika mental lelakiku sang fighter, ia tidak akan berpangku tangan. Ia akan bekerja keras demi keluarganya. Demi diriku dan anak-anak kami. Tentu saja ini bernilai ibadah di hadapan Alloh.
Jadi, bagiku. Tidak apalah ia bukan bekerja tetap atau karyawan tetap yang penting ia tetap bekerja. Dan karena tetap bekerja tentu saja dapur pun tetap mengepulkan asap.
Begitulah prinsipku di atas. Tapi, alhamdulillah ya sesuatu.. Lelakiku ini seorang dosen di sebuah kampus swasta. Tentu saja penghasilannya tidak sebesar penghasilanku. Tapi, aku menghormatinya dan bangga akan sifat fighternya.
---***---
Hari istimewa itu pun tiba. Ia dan keluarganya tiba diiringi arak-arakan sederhana. Iya, hari ini adalah hari pernikahanku. Pernikahan yang sangat sederhana dengan adat sunda. Keluarga kami memang sudah sepakat untuk tidak merayakannya dengan mewah. Dan tentu saja ini pun kehendakku jua.
Salah satu prinsipku dan lelakiku, "Pernikahan bukan untuk sehari tapi selamanya. Janganlah menghabiskan puluhan, ratusan bahkan milyaran rupiah untuk sekedar resepsi pernikahan. Mubazir."
Alhamdulillah.. Indahnya merayakan cinta karena Alloh. Amin. Barokallohu lana wabaroka 'alaina wajama'a bainana fi khoirin..
Djakarta, 12 September 2012
"Aku ingin menikahimu karena Alloh." Begitulah ucapannya siang tadi. Aku terharu dan tergugu. "Bismillah. Ya Alloh, Permudahkanlah niat kami untuk menyempurnakan agama ini." Amin. Doaku lirih penuh haru bahagia.
Lelakiku ini sangat memesonaku. Aku mengaguminya bukan karena parasnya. Parasnya tergolong biasa-biasa saja. Ia tidak tampan. Aku serius. Tidak semua wanita cantik membutuhkan laki-laki tampan. Dan aku pikir, aku cantik. Tentu saja jangan bandingkan kecantikanku dengan artis.
Hmhm.. Tapi coba saja jika kamu tidak percaya akan kecantikanku, tanyakan saja pada semua laki-laki yang mengenalku. Pasti mereka akan mengatakan,"Oh, Si Neng...., Iya bener, dia cantik dan ayu. Orangnya putih, berjilbab lagi. اِ Ù†ْ Ø´َØ¢ Ø¡َ اللّÙ‡ُ sholehah."
Bukan maksudku ujub dan takabbur dengan memuji diri. Bukan. Maksudku adalah dalam mencari pasangan hidup untuk selamanya, kesempurnaan paras itu bukanlah hal utama.
Seperti yang aku katakan di atas. Tidak semua wanita cantik membutuhkan laki-laki yang tampan. Begitu juga sebaliknya. Tidak semua laki-laki tampan membutuhkan wanita cantik.
Sebuah nasehat indah yang selalu terngiang dalam diriku adalah "jika engkau mencintai seseorang karena rupa yang elok, maka cinta itu akan pudar bersama pudarnya keelokan rupa itu...."
Aku mencintai lelakiku dan ingin menikah dengannya bukan karena faktor keelokan rupa. Tapi, karena faktor yang jauh lebih tinggi nilainya dibanding faktor fisik, yaitu kedewasaan dan kematangan jiwanya dalam menghadapi problematika hidup. Faktor ketampanan jiwanya. Kegagahan jiwanya
Maksudku, dalam hidup tentunya kita akan menghadapi berbagai macam problematika kehidupan. Tentu saja tidak mudah menghadapi dan menyelesaikannya. Butuh kematangan dan kedewasaan jiwa. Butuh mental tangguh. Dan aku menemukan mental tangguh itu pada lelakiku. Ia seorang fighter sejati. Dan aku pikir, setiap wanita membutuhkan seorang pemimpin yang petarung sejati.
Terkadang aku sering mengujinya dengan berbagai keruwetan dan masalah yang aku rekayasa sendiri. Dan ia lolos sempurna. Face sih nilainya boleh enam, tapi mentalnya 100. Bagiku, tentu saja.
Oh iya, hampir lupa. Ia pun seorang lelaki yang menjaga kehormatannya dan kehormatan diriku. Tak pernah sekalipun ia menyentuhku. Ia bukan seorang yang sangat faham tentang agama. Tapi ia sangat tahu bagaimana seharusnya seorang laki-laki muslim itu bersikap.
Bagiku, sebuah pernikahan itu bukan hanya kerja cinta, tapi juga kerja ekonomi. Tidak salah jika seorang wanita mencari seorang lelaki mapan secara finansial. Itu keharusan, tentu saja. Matre itu wajib. Aku pun begitu.
Seperti ucapan Pak Mario Teguh yang aku bahasakan sendiri,"Kekayaan itu lebih langgeng dr ketampanan seorang pria. Jadi, pilihlah lelaki kaya dibanding lelaki tampan. Syukur Anda mendapatkan yang kaya sekaligus ganteng. Tampan itu bonus untuk Anda."
Pasti sebuah pertanyaan sudah kalian siapkan untukku,"Apakah lelakimu itu seorang yang kaya raya atau hartawan?" Inikah pertanyaan kalian?
Baiklah aku jawab. "Belum." Lelakiku bukan seorang yang kaya raya ataupun seorang hartawan. Lelakiku belum kaya raya dan belum menjadi hartawan.
Ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Bahkan kuliah pun ia membiayainya sendiri. Aku tahu dengan pasti karena sebelum aku menerima keseriusannya, aku sudah menelitinya dan bertanya pada beberapa kenalannya. Kata kuncinya, teliti, amati dan tanya.
Jadi, jawabannya. Lelakiku belum menjadi orang kaya raya. Dalam bahasa vulgarnya, lelakiku bukan orang kaya.
Ah, nampaknya kalian hendak bertanya lagi. Aku tahu. Pasti ini, "Lalu kenapa kamu menerimanya jika kamu sendiri meyakini bahwa seorang wanita itu harus mencari laki-laki yang mapan secara finansial?"
Sebentar aku ingin tertawa sejenak saja. Maaf.
Kembali kepada curhatanku di atas. Jawabannya, "Karena ia seorang fighter sejati." Itu saja jawabanku. Nanti aku jelaskan. Perutku mules. Sebentar ya kawan.
Maksudku begini. Ketika mental lelakiku sang fighter, ia tidak akan berpangku tangan. Ia akan bekerja keras demi keluarganya. Demi diriku dan anak-anak kami. Tentu saja ini bernilai ibadah di hadapan Alloh.
Jadi, bagiku. Tidak apalah ia bukan bekerja tetap atau karyawan tetap yang penting ia tetap bekerja. Dan karena tetap bekerja tentu saja dapur pun tetap mengepulkan asap.
Begitulah prinsipku di atas. Tapi, alhamdulillah ya sesuatu.. Lelakiku ini seorang dosen di sebuah kampus swasta. Tentu saja penghasilannya tidak sebesar penghasilanku. Tapi, aku menghormatinya dan bangga akan sifat fighternya.
---***---
Hari istimewa itu pun tiba. Ia dan keluarganya tiba diiringi arak-arakan sederhana. Iya, hari ini adalah hari pernikahanku. Pernikahan yang sangat sederhana dengan adat sunda. Keluarga kami memang sudah sepakat untuk tidak merayakannya dengan mewah. Dan tentu saja ini pun kehendakku jua.
Salah satu prinsipku dan lelakiku, "Pernikahan bukan untuk sehari tapi selamanya. Janganlah menghabiskan puluhan, ratusan bahkan milyaran rupiah untuk sekedar resepsi pernikahan. Mubazir."
Alhamdulillah.. Indahnya merayakan cinta karena Alloh. Amin. Barokallohu lana wabaroka 'alaina wajama'a bainana fi khoirin..
Djakarta, 12 September 2012

Komentar