Langsung ke konten utama

Penawar Rindu


Gadis berjilbab ungu yang duduk di depanku ini sangat mempesona. Bidadari bumi terjelita yang pernah kutemui. Mata para pengunjung taman pun tak henti-hentinya melirik, tak terkecuali diriku.

Ekor mataku tak kuasa menolak keindahan ini. Aku tersenyum. Kecantikannya begitu khas... Kebangiran hidungnya dan kelentikkan matanya pastinya membuat iri para wanita.

Di bawah lampu taman yang gemintang, wajahnya bak cahaya purnama rembulan malam. Hmhm.. Tak mudah menemukan seorang wanita berjilbab di kota ini. Ingin sekali hatiku menyapanya. Sekedar sapaan salam dan ia menjawabnya sudah cukup bagiku. Atau sebuah kata "boleh" jika aku memotretnya. Aku bisa merasakan betapa gatalnya kameraku ini.

Siapakah gadis ini? Aku sangat penasaran sekali. Aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Hmhm.. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang.

Wajahku memerah saat seorang lelaki paruh baya dan seorang gadis kecil menghampirinya. Dan gadis kecil itu memanggilnya.. "bunda". Hmhmhm.. Sungguh tidak beruntung diriku. Sejak tadi siang hingga malam ini kutunggui dirinya, aku ingin tahu dimana rumahnya.. Hmm.. Ternyata ia seorang ibu muda.. 

Agak sedikit miris dan nyinyir melihat betapa tuanya suami ibu muda ini. Tak pantas. Sangat tidak cocok sekali. Lelaki paruh baya ini memang terlihat gagah dan berkelas. Pastinya lelaki ini seorang pengusaha atau pejabat tinggi. Hmhm.. Wanita sama saja silau dengan harta dan jabatan.

Kulangkahkan kaki lelahku. Seulas senyuman kucoba hiasi wajah muramku. Biarlah.. Suatu saat nanti bidadari bumi terbaik pilihan Alloh itu pasti akan datang. Semua akan indah pada waktunya..

Simfoni nada sms menyadarkanku tuk berpijak kembali ke bumi. Khayalan kemudaanku membuaiku terlalu dalam. Kubaca sebuah sms, ternyata dari Ustadz Hasan."Akhie, malam ini antm ditunggu di rumah ana. Penting!" Seulas senyuman kembali terukir indah, mengukir paras syahduku. Aku pikir inilah senyuman terindah dan termanisku. Hmhm..

"Ustadz, aku mengkhawatirkan diriku. Hidup di Jakarta tak mudah bagiku. Terlalu banyak godaan yg bisa membuaiku hingga lupa dan lalai. Aku mohon solusinya, Ustadz." Itulah smsku seminggu yang lalu. Sms curahan hatiku pada murobbieku.. 

Dan aku tahu, smsku inilah sebab musabab ustadz ingin bertemu denganku. Hmhm.. Getar-getar sejuta rasa bersatu ingin membuncah dan memecahkan rongga dadaku. Rasa "dewasa" segari jiwaku. Segar nian.

"Bismillah" kuucapkan kata sakti ini saat kunaiki motor tuaku. "Ya Alloh niatku karena-Mu, ridhoilah perjalananku." hatiku merintih dalam do'a terkhusuk yang pernah kupanjatkan. Separas samar seorang gadis berjilbab terbayang dalam anganku. Siapakah dia? Semuanya masih tanda tanya. Samar. Entahlah..

Ceramah "Persiapan Menuju Pernikahan" Ustadz Anis Matta begitu mendayu-dayu menyapa gendang telingaku. "Janganlah mencari pasangan yang ideal tapi carilah pasangan yang tepat dengan bingkai kepribadian kita."

Kuucapkan salam dengan khidmat. Senyuman cerah ustadz membuatku tertunduk khusyuk. "Silahkan masuk akhie, bagaimana kabar antum?"

"Ana alhamdulillah bi khoir, Ustadz." Jawabku singkat. Kumandang adzan terdengar jelas dari mushola mungil di ujung jalan.

"Ayo kita sholat dulu, kita bicarakan nanti maksud ana menyuruh antum datang ke sini." Ajakan ustadz hanya membuatku semakin dalam menunduk. Semilir angin ashar menghanyutkan aku dalam kesyahduan cinta.

Aku pikir jamaah ashar sore ini hanya kami berdua. Telingaku lamat-lamat mendengar desahan dzikir di balik tabir hitam pemisah jamaah ikhwan dan akhwat. Entahlah.. Pikiranku bercabang dan mengawang. Jantungku berdebar kencang seolah ingin meloncat dan berlari keluar rongga dadaku. Suara siapakah di balik tabir itu? Ah, pikiranku terlalu jauh..

Ba'da dzikir ustadz memanggilku tuk mendekatinya. Ia telah duduk santai bersandar pada dinding dekat tabir pemisah itu. Duh, lemas nian lututku tuk melangkah. Aku gugup. Aku nervous. "Ya Alloh.., tenangkanlah hatiku. Tolonglah hamba." Hatiku merintih.

"Ummie.." Suara ustadz memanggil, mungkin Ummu Raihan, istrinya. "Sudah siap belum?" Aku masih belum faham maksud pertanyaan ustadz kepada istrinya. Aku hanya terdiam sambil menundukkan wajahku yang saking jengah dan nervousnya. Tentu saja hatiku tak lepas dari dzikir.

"Sudah, Abie." Terdengar suara wanita, Ummu Raihan pastinya. Ustadz menarik nafas dalam-dalam. Terasa jelas hendak mengatakan sesuatu yang teramat penting. Lirih terdengar ustadz berdzikir basmalah.

"Akhie.." Aku tersentak. Kaget. Kupandang ustadz sekilas. Nampak sekulum senyum tersimpul.

"Menyambung sms antum kemarin. Ana bersyukur sekali antum sudah mempercayakannya kepada ana." Ustadz berhenti sejenak, menarik nafas kembali.

"Di balik tirai ini, ada seorang akhwat yang juga memiliki niat yang sama seperti antum. Afwan, kemarin ana tidak sempat mengirimkan biodata akhwat ini. Silahkan antum melihatnya di balik tirai ini." Aku terdiam laksana patung. Tatapanku kosong menekuri karpet merah di depan kakiku. Siapkah aku? Siapkah aku melihat bidadari bumi di balik tirai ini?

"Akhie!" Kembali aku tersentak kaget. "I.. Iya, Ustadz." Aku tergagap. Kupandang ustadz untuk meyakinkan hatiku. "Iya, nadhor." Ucapan dan anggukan ustadz meyakinkanku. Kusibak perlahan tabir hitam ini, lemah nian tanganku seolah tiada bertenaga. Laksana sebuah adegan film. Tiap adegan berlalu dengan lambatnya.

Tabir tersibak. Nafasku lelah sekali. Gemuruh dadaku bak hujan badai. Aku ingin sekali mengakhiri babak hidup yang seperti ini. Sangat melelahkan jiwa mudaku. Nampak Ummu Raihan tersenyum padaku. Kuanggukan kepalaku. Sesosok wanita berjilbab hitam duduk di samping kanannya. Tertunduk dalam sekali. Membuatku tak bisa melukiskan parasnya. Hanya kulihat sekilas betapa merona merah pipinya.

Kutatap Ummu Raihan. Ia mengangguk sambil menoleh kepada wanita di sampingnya. Dan kudengar suaranya lirih, "Afwan ukhtie, mohon diangkat kepalanya sedikit." Adegan nadhor yang sangat indah. Aku tertunduk tak berani menatap langsung wanita di samping Ummu Raihan.

"Akhie." Suara Ummu Raihan menyadarkanku. Kuangkat wajahku. Dan sebuah seruan takbir nan lirih hampir tak sadar telah keluar dari bibirku. "Allohu Akbar". Aku pernah melihat gadis ini. Bersama suami dan putri kecilnya. Gadis terjelita yang pernah kulihat. Aku tersenyum kelu. Kuanggukan kepalaku dan kulangkahkan kakiku menuju ustadz kembali. Sejuta pertanyaan wara wiri dalam pikiranku.

Kutarik nafas sedalam-dalamnya. Hampa. Pikiranku kosong melompong. Hampa tak tentu arah. Ustadz nampak tersenyum riang. Kewibawaan suaranya terdengar mendayu-dayu.

"Akhie, sebelum ana bertanya lebih lanjut. Ana ingin menjelaskan tentang akhwat ini. Beliau seorang akhwat yang ingin menyempurnakan agamanya. Ingin menikah karena mengharapkan ridho Alloh. Ia tinggal bersama ayah kandungnya yang sekarang sedang dirawat di RSCM. Ibunya sendiri telah meninggal saat melahirkannya. Ia juga tinggal bersama putrinya." Ustadz tersenyum sejenak. Nampak senyuman menggoda.

Aku tahu ustadz menunggu reaksiku. Hmhm.. Ternyata gadis ini seorang yang pernah menikah. Seorang janda. Nafasku terasa berat. Tarikan nafasku tidak sesemangat tadi. Ah, sudahlah. Mungkin sudah takdirku menikah dengan wanita yang sudah pernah menikah.

"Ia masih gadis. Belum pernah menikah." Heh.. Aku benar-benar bingung dengan perkataan ustadz. Punya anak tapi belum pernah menikah, masih gadis pula. Membingungkan sekali. Atau mungkin ia pernah??? Tidak berani aku membahasakannya. Senyuman menggoda ustadz semakin menjadi-jadi. Wajahku terasa agak panas dan terasa memerah. Mendekati kesal.

"Akhie, bagaimana menurut antum, maukah antum ana jodohkan dengan akhwat ini?" Kususuri karpet merah di dekat kakiku. Kuhembuskan nafas beratku dan kuhirup udara sore agak lama. Mencoba menghilangkan resahku. "Bismillah." Dzikir lirihku.

"Ana meyakini seorang murobbie akan memilihkan seorang akhwat yang baik. Dan ana dengan mengucapkan bismillah menerima...menerima pilihan ini." Kepalaku semakin dalam menunduk.

"Antum serius, akhie? Antum bisa menolaknya." aku terdiam sejenak. Kuanggukan kepalaku, "Ana setuju, Ustadz."

"Alhamdulillah.." Terdengar ustadz tertawa, di balik tabir pun terdengar Ummu Raihan tertawa lirih. "Ana jelasin kembali. Antum pasti bingung. Akhwat ini memiliki putri angkat berumur enam tahun. Keluarganya memiliki beberapa yayasan yatim piatu, putri angkatnya adalah salah satu penghuni yayasan yang dikelolanya."

Aliran darahku mengalir begitu kencangnya. Desiran darahnya terasa basahi seluruh jasad rapuhku. Kupilin-pilin jari tanganku. Termangu dalam senja yang mulali temaram.

"Akhie, ada yang mau ditanyakan lagi?" Aku tergagap. Aku semakin tersengat dengan pertanyaan selanjutnya. "Silahkan antum bertanya langsung pada akhwatnya, jika antum merasa ada yang harus ditanyakan."

"I.. Iya, Ustadz. Sudah cukup." Aku tak bisa menutupi kegugupanku. Aku terdiam sejenak. Dan tiba-tiba.. "Oh iya, Ustadz. Ana belum tahu namanya." Kata-kataku lirih sekali, tapi nampaknya sudah cukup terdengar Ummu Raihan. Terdengar tawa tertahannya. Wajahku memerah. Malu.

"Hmhm.. Antum tanya saja sendiri." Tak henti-hentinya ustadz menggoda. Ia nampak tersenyum puas. Mungkin merasa bahagia telah menyomblangkan mutarobbienya. Entahlah.. Aku sendiri malah sedang mengalami kebingungan dan tentu saja kegugupan. Terpaksa kutahan maluku.

"Afwan ukhtie, namanya siapa ya?" Plong nian hatiku saat kutumpahkan pertanyaan singkat ini.

"Zakya Fatimah Said." Ambooii. Indah nian suara bidadari bumi ini. Merdu nian dan mendayukan gendang telingaku yang merindu ini. Aku pikir inilah suara wanita termerdu yang pernah kudengar. Bara cinta segera memagut jiwaku yang sepi. Bara rindu memelukku begitu eratnya dan tak ingin melepasku selamanya.

"Akhie, اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ bulan depan kita bertemu walinya, ayahnya." Suara ustadz terdengar nyaman sekali.

"Sebulan, Ustadz? Apa tidak terlalu lama?" Tanyaku lirih. Ustadz tersenyum.

"Ya sudah, besok kita bertemu ayahnya." Jawab ustadz riang.

"Apa tidak terlalu cepat, Ustadz? Afwan.." Kembali aku menyela.

"Hmhm.. Antum ini bagaimana. Sebulan terlalu lama, sehari terlalu cepat. Antum maunya bagaimana?" Aku tertunduk penuh kebimbangan.

"Iy, Ustadz. Tidak apa-apa. Besok اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ ana bisa."

"Nah, begitu dong! Dalam urusan ibadah mah antum harus secepat kilat." Terdengar ustadz terkekeh.

Temaram senja menyajikan sebuah cerita terindah dalam sejarah perjalanan cintaku. Kesyahduan memagut jiwa mudaku. "Ya Alloh permudahkanlah urusanku."

Senandung bait Seismic mengalun merdu membuai para pecinta..

"Saat dua hati berjanji tuk arungi hidup di jalan-Nya. Alloh kan berkahi mereka kala dalam doa kala dalam asa. Menjadilah mentari bening pagi terangi bumi terangi hati. Menjadilah keheningan malam kala berjuta insan larut dalam doa. Selamat datang kawan di duniamu yg baru kudo'akan semoga bahagia."

Djakarta, 02 Sept '12
( edit kembali 28 Maret 2013 )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 Kasus Korupsi yang Belum Terselesaikan Versi ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tantangan yang tidak mudah dalam pemberantasan korupsi. Nah, di bawah kepemimpinan pimpinan baru KPK nantinya, setidaknya ada 13 kasus korupsi yang harus dibereskan. Berikut ini 13 kasus korupsi yang belum terselesaikan versi Indonesia Corruption Watch: 1. Kasus korupsi bailout Bank Century 2. Suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI 3. Kasus Nazaruddin sepeti wisma atlet dan hambalang 4. Kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain 5. Rekening gendut jenderal Polri 6. Suap program Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemenakertrans 7. Korupsi hibah kereta api di Kemenhub 8. Korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 9. Korupsi sektor kehutanan khususnya di Pelalawan Riau 10. Kasus mafia anggaran berdasar laporan Wa Ode Nurhayati 11. Kasus korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan Freeport Newmont...

Memendam Rasa

Bertahun-tahun aku hidup dalam pendaman rasa yang membuat hatiku resah tak terperikan. Ketakutan jiwa kuanggap hanyalah halusinasi belaka. Akhirnya, kuobati dengan pikiran-pikiran positif bahwa akulah yang seharusnya introspeksi diri. Namun, akhirnya apa yang kupendam selama ini ternyata adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi. Terkadang aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Aku telah tertipu bertahun-tahun oleh seseorang yang aku pikir bisa dipercayai. Mungkin inilah takdirku. Takdir yang harus aku terima sepahit apa pun. Walaupun aku masih geleng-geleng kepala, kok bisa berbuat seperti itu sambil terkesan. Lalu, datang kepadaku tanpa merasa bersalah. Senyum dan tertawa bersama keluarga kecilku. Tak pernah ada yang mengira penipuannya telah berlangsung ribuan hari. Bukan sehari dua hari, tetapi ribuan hari. Ckckckck... Tertidur ribuan hari sepertinya tak mungkin. Terlena dalam keadaan sadar, sepertinya seperti itu. Takdirku... Hari-hari berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ...

Alone

Aku memutuskan untuk pergi berlayar. Kukembangkan perahu layarku. Dan kubiarkan angin pagi lautan menerpanya. Amboi. Indah nian. Tak pernah aku menikmati kesendirianku selama ini. Kehidupan kota terlalu kejam menyiksa batinku dengan segala gemerlapnya. Kini di pagi yang cerah ini aku berlayar di tengah lautan bebas menikmati sisa-sisa hidup yang mungkin tak lama lagi kunikmati. Inilah kebebasanku. Mencumbu alam, menikmati alam.