Aku bersujud dengan penuh keharuan hati. Teringat betapa besar dan banyaknya dosa-dosaku.
"Ya اَللّهُ, ampuni dosa-dosaku yang begitu banyak ini. Aku ingin kembali kepada-Mu laksana kertas putih tak bernoda. Duuuuh, Ya Rohman Ya Ghoffaar, apa yang harus aku katakan tatkala Engkau bertanya padaku tentang umurku, tentang masa mudaku, tentang apa yang ku lakukan di masa mudaku dihabiskan untuk apa. Ya Rohiim, apa yang harus ku jawab saat diriku ditanyakan tentang rezeki yang Engkai karuniakan kepadaku."
Aku tergugu. Pilu sekali. Aku berharap sujudku penuh keberkahan. Air mataku mengalir deras tak tertahankan lagi. Ku angkat wajahku lalu ku tengadahkan tanganku dengan penuh kerendahan hati dan hinanya diriku,"Ya اَللّهُ, ampuni hamba yg hina dina ini, ampuni Ya اَللّهُ.. Aku mohon.." Kembali tumpah ruah air mataku, isak tangisku terasa semakin memilukan. Aku tak kuat menanggung beban dosa ini.
Demi اَللّهُ aku malu, malu sekali, sangat sangat malu, saat teringat betapa besarnya dosaku ini. Betapa tidak malu, aku seorang laki-laki yang pernah belajar dinnul islam. Walaupun aku bukan seorang ustadz, tapi aku tahu setidaknya hukum haram dan halal secara global. Berani bermaksiat di depan اَللّهُ. Sesuatu yang sebenarnya aku sadar tidak baik, tapi akibat syahwat aku malah tetap melakukan kemaksiatan itu.
Ah, tiada jalan lain obat hatiku itu adalah pernikahan. Ya, aku harus menikah bila ingin sembuh dari dosa. Setidaknya dosa-dosa besar. Teringat tawaran al-Akh Haidar sahabat halaqohku tentang seorang janda beranak dua yang sedang mencari seorang "imam". Janda atau gadis bagiku sama saja. Hatiku bukan fokus pada virginitas, fokusku hanya pada bagaimana sembuhkan hatiku secara cepat, mudah dan praktis. Nampaknya, janda inilah jalan pintas menuju jannah-Nya.
"Assalamu'alaikum ustadz, gimana kabar ustadz? Ya ustadz, ana seorang pemuda. Ana khawatir dengan diri ana. Ana ingin segera sempurnakan agama, ya ustadz. Sungguh, ana khawatir. Ana tertarik sama tawaran akh khaidar kemarin" Itulah sms singkatku pada Sang Murobbie.. Ada getar-getar rasa yang membuncah melambung tinggi bersama anganku. Terbayang, saat menjalani biduk rumah tangga, aku bertambah kesholehan. Qiyamullail bareng istri yang rajin ditunaikan, shaum sunnah yang tak pernah luput. Ah,betapa indah dan romantisnya. Itulah tujuanku menikah,"mensholehkan diriku dan keluargaku"
"Akh, antum malam ini ke rumah ana" Balasan singkat Sang Murobbie mengalun merdu menyanyikan lagu simfoni cinta karena ilahi.
---***---
"Yang lain boleh pulang, akh Rizqi jangan dulu, ana ada perlu" Ucapan Sang Murobbie membuat hatiku semakin "dag dig dug" berdebar keras. Nervous.
Setelah sahabat-sahabat halaqohku pulang, aku hanya duduk tertunduk menanti ucapan ustadz selanjutnya. Terdengar ustadz berdehem berkali-kali.
"Ana pengen nanya sama antum, sedikit saja." Ustadz memulai percakapan dengan senyuman menusuk hatiku, seolah ingin menjenguk isi hatiku yang terdalam.
"Ana pengen tahu kriteria akhwat yang antum inginkan. Apa saja kriteria antum? Yang cantikkah? Atau ap?"
Aku sejenak terdiam. Jujur aku tidak siap bila ditanya kriteria. Tujuanku ingin menikah bukan tentang tetek bengek kriteria.
"Ana tidak memikirkan kriteria, Tadz. Ana cuma pengen akhwat yang mau aj sama ana." Ku tatap wajah ustadzn terlihat ustadz menggeleng-gelengkan kepala.
"Akhi..akhi.. kalau kriterianya akhwat yang mau, semua juga pasti mau sama antum. Antum ganteng, antum punya hafalan Al-quran, juga bisa bahasa Arab." Ustad terlihat tersenyum.
"Ana cuma ingin mengikhlaskan hati ana, Tadz. Kalau ana ingin PNS atau ingin cantik, ana takut ana tidak ikhlas" Aku terdiam. Terdengar ustadz menarik nafas dalam-dalam.
"Antum serius akh, mau sama si akhwat ini?" Tanya ustadz. Aku hanya mengangguk pasti. Aku tahu, yang dimaksud si akhwat adalah janda yg pernah ditawarkan akh haidra itu.
"Antum siap dengan 'bonus' anak-anaknya? Antum siap menjadi ayah buat mereka dengan usia antum yang semuda ini, siapkah antum? Antum bukan hanya menjadi suami dari ibu mereka,tapi antum juga menjadi ayah bagi anak-anaknya. Menjadi suami itu berat, akh. Apalagi harus menjadi ayah dua orang anak. Ana saja yang sudah kepala empat dan menikah dengan gadis sampai sekarang masih pusing dengan segala problematika rumah tangga. Jangan dikira pernikahan itu menjanjikan enaknya saja tanpa ada pahitnya. Banyak masalah dalam rumah tangga itu, dan antum sebagai imamnya harus mampu menyeselaikan semua masalah dalam perahu antum. Apakah antum siap dengan semua ini?"
Aku tersentak. Sangat tersentak. Begitu mengerikankah pernikahan itu? Ada titik-titik ketakutan mulai gelayuti hasratku, keraguan mulai terasa meresapi jiwaku. Tetapi kepalaku nampaknya terbiasa mengangguk. Aku mengangguk kembali. Padahal hatiku belum 100 % bulat, tapi kepalaku terlalu boneka, mudah saja manggut-manggut.
Nampak terasa ketidakpuasan dan kekecewaan ustadz. Hembusan nafas ustadz terasa kesal.
"Ya sudah kalau antum maunya begitu. Ini biodata akhwat itu, silahkan antum baca dan pelajari." Ustadz pun menyerahkan biodata akhwat itu ke depanku. Aku hanya menatap amplop putih di depanku. Tidak ku sentuh sedikit pun. Ada rasa sangat penasaran saat melihat ada foto menyembul keluar. Cantikkah akhwat itu? Hatiku sangat penasaran sekali. Tapi aku tetap terdiam. Aku takut terlihat tidak dewasa jika terang-terangan laksana kucing melihat ikan.
Hening sejenak. Ustadz terdiam, aku pun terdiam jua. Terdengar desahan ustadz, dan tiba-tiba.
"Tidak, akh. Antum nikah dengan gadis saja jangan dengan janda." Lalu ustadz pun mengambil kembali biodata akhwat yang belum sempat ku sentuh sedidkit pun.
"Antum masih muda, nanti ana carikan akhwat yang baik di sini, asal antum mau aktif di sini." Aku terdiam. Hanya kepalaku yang kembali mengangguk. Aku menarik nafas dalam-dalam. Rasa penasaranku akan sosok akhwat berputra dua masih menggelayuti anganku.
"Terserah antum saja, Tadz. Semoga saja itu yang terbaik bagi ana." Aku tersenyum pahit, lalu aku pun pamit tentu saja dengan rasa penasaran di dalam dada.
---***---
"Akh Rizqi, antum mau tahu tidak, akhwat yang ana tawarkan dulu itu?" Tawaran akh Haidar membuatku sangat antusias.
"Boleh..boleh..boleh. Rumahnya dekat gitu dari sini, akh?" Tanyaku antusias.
"Rumahnya dekat mesjid al-jihad." Jawab akh Haidar.
Aku bergegas menstarter motorku. " Ayo akh,cepetan." Terasa ada gairah yang membuncah menderu-deru dalam dadaku.
"Itu rumahnya" akh Haidar menunjuk sebuah rumah mungil. "Sepi. Kayaknya lagi main volley ball di lapangan perumahan. Ayo!" Ajak akh haidar padaku.
"Itu akh, itu yang pake jilbab kuning."
"Yang mana?" Jawabku. Terlihat beberapa akhwat yang sedang olah raga.
"Itu yang lagi duduk." Sesosok ibu berjilbab kuning sedang duduk sendiri menonton valley ball. Namun, posisinya membelakangi kami berdua. Aku tidak puas. Tak bisa melihat wajahnya.
"Ya sudah antum liat ke depannya." Aku pun berjalan bak polisi sedang menyamar. Berpura-pura ikut menonton valley ball. Dan...
"Antum mau kemana akh, main kabur aj?" Haidar berteriak-teriak memanggilku. Ku starter motorku, mencoba tidak mempedulikan haidar. Aku benar-benar marah pada haidar. "Ana pulang. Syukron." Aku pergi dengan kemarahan.
Sesampainya di rumah, ku ambil hp-ku. Segera aku mengirimkan sebuah sms protes dan gugatanku pada haidar,
"Ana bingung sama antum, ana kecewa sama antum. Antum bilang akhwatnya masih muda. Masih cantik. Antum tahu ana, tapi kenapa antum malah menawarkan akhwat itu. Antum tega sama ana. Ana juga kecewa sama teman-teman yang lain malah manas-manasin ana supaya nikahin akhwat itu. Untungnya ustadz masih waras." Ku kirimkan sms ini secepatnya.
Ku tarik nafas dalam-dalam. Apa yang sudah terjadi dalam hidupku. Aku kesal. Aku merasa terhina, harusnya mereka memanas-manasi diriku dengan wanita terbaik. Bukan malah janda berumur, dan (maaf) terlalu tua untukku.
Saat adzan maghrib berkumandang bergegas ku langkahkan kakiku menuju mesjid. Ba'da sholat rawatib ku buka mushaf kecilku. Tilawah sejenak sambil ku baca terjemahan ayat. Tilawah lirihku semakin mengharubirukan suasana hatiku. Tiba-tiba mataku membaca sebuah terjemahan ayat: (sabar pemirsah cerpenku belum beres..ayat alqurannya nanti yah pemirsah..hihi.. Ada yang mau ngasih ide ayatnya?hihi..)
Laksana disiram air es,,,kesejukan selimuti jiwaku. Aku pun tersadar. Aku yang salah. Siapalah diriku. Aku terlalu memandang tinggi diriku. Padahal hakikatnya begitu hinanya diriku. Aku beristighfar berkali-kali. Ku kirimkan sms permintaan maaf pada haidar dan teman-teman halaqohku atas buruk sangkaku pada mereka.
Saat hati harus memilih.. Aku hanya ingin memilih kamu. Titik.
Djakarta, 11 april '12..

Komentar