Langsung ke konten utama

Purnama Syahdu

"Kriiing..kriiing" Sebuah panggilan telepon membuyarkan lamunanku. Tanpa nama. Entah siapa.

"Halo." Jawabku. "Ooh , tumben nelepon." Ujarku saat tahu jika ia yang meneleponku.

"Iya. Maafkan aku jika aku mengganggu waktumu." Ia diam sejenak. "Kamu lagi sibuk ya?" Tanyanya. Kutarik nafas sedalam-dalamnya.

"Tidak." Jawabku singkat. Hembusan nafasnya terdengar jelas di seberang sana. Nafas berat.

Nampaknya ia sedang menghadapi masalah berat. Entahlah. Sudah hampir dua bulan aku tidak berkomunikasi lagi dengannya. Ia pergi meninggalkanku tanpa kata.

Pernah aku menanyakannya. Ia hanya menjawab lelah terus menerus menungguku tanpa kepastian. Aku pun tahu diri. Aku hanyalah laki-laki biasa yang sedang berproses.

Aku juga tak bisa memaksanya untuk terus bersamaku. Aku menghargai keputusannya. Ia punya pilihan. Dan ia berhak memilih untuk meninggalkanku.

Memang awalnya terasa perih, namun perlahan dengan kesibukanku di kantor aku bisa melupakannya. Berkali-kali kutancapkan kata dalam sanubariku, "Semua orang punya pilihan hidup. Dan ia punya hak untuk memilih pilihan hidup yang ia pilih."

Berkali-kali aku mengingatkan diriku untuk menghargai keputusannya. Berat terasa. Dan aku pun menyadari jika ia memang bukan untukku.

Dan saat purnama terangi bumi. Ia meneleponku. Entah apa yang ingin ia katakan padaku.

"Bismillah dulu sebelum bicara." Ujarku kepadanya, mencoba mencairkan kekakuan suasana.

"Iya." Jawabnya. "Aku tidak lama. Aku hanya ingin minta maaf saja kepadamu." Aku tersenyum pahit mendengar ucapan maafnya. Sekali lagi aku menarik nafas sedalam-dalamnya.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu punya pilihan-pilihan hidup seperti halnya diriku. Aku menghargai pilihanmu." Tuturku selembut mungkin.

"Iya aku tahu. Aku hanya ingin minta maaf saja." Terbersit di hatiku jika ia meminta maaf karena hendak menikah.
"Kamu meminta maaf karena hendak menikah?" Tanyaku dengan senyuman kecut nan pahit. Ia diam agak lama. Ah, dugaanku benar rupanya.

"Itu salah satunya. Aku harap kamu memahami keputusanku." Jawabannya memanaskan hatiku. Harga diriku terusik. Aku tertawa sekeras mungkin.

"Lho!! Aku sedari dulu dan tadi juga sering mengatakan jika kamu ingin menikah terlebih dahulu ya silahkan. Kamu punya pilihan dan kamu berhak memilih pilihanmu itu." Nada suaraku meninggi. Ah, aku mulai emosi. Astaghfirulloh. Aku beristigfar berkali-kali.

"Kamu ikhlas jika aku menikah dengan laki-laki lain?" Lirih ia ucapkan kalimat di atas, membuatku teringat sejuta kenangan bersamanya.

Aku terdiam sejenak. Aku ingin mencerna ucapan lirihnya tadi. Ikhlas. Apakah aku ikhlas jika ia menikah dengan laki-laki lain? Hatiku masih terasa berat. Lemah nian jiwaku..

"Izinkan aku berpikir terlebih dahulu." Kataku singkat.

Kembali aku mencoba menganalisis mencari pembenaran "seharusnya" aku ikhlas jika ia menikah dengan pria lain.

Ya, iya benar. Aku harus ikhlas. Ini kesalahanku karena ketidakmampuanku meminang dirinya. Ia telah bersikap benar meninggalkanku yang tidak bisa memberikan kepastian masa depan. Seharusnya aku yang meminta maaf kepadanya.

Aku ikhlas. Aku mantapkan jiwaku sekali lagi. Kutarik nafas terlebih dahulu. Kini terasa segar dan lapang dadaku.

"Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu. Aku yang salah telah melepaskan kesempatan emas memiliki wanita terbaik sepertimu. Maafkan aku.." Ujarku lirih. Kembali segala kenangan bersamanya berlarian dalam anganku.

"Jadi, kamu mengikhlaskanku jika aku menikah dengan laki-laki lain?" Tanyanya. "Kamu tidak akan melupakanku bukan?" "Kamu janji tidak akan memutuskan silaturrahim?" Ah, nampaknya ia ragu.

"Iya. Aku janji." Jawabku singkat. "Aku berdoa untuk kebahagiaanmu. Semoga perjalanan hidupmu penuh dengan keberkahan."

Aku tersenyum puas nan bahagia. Alhamdulillah. Hidup adalah pilihan. Dan kita punya hak untuk memilih pilihan-pilihan hidup yang tersedia. Aku, kamu, kita semua punya hak untuk memilih.

( Terima kasih untuk seorang sahabat atas sharing kisah lirih sunyinya. aku tahu ini hanyalah cerita picisan yg mungkin kurang bisa melukiskan kepedihan hatimu... maafin juga baru bisa menuliskannya sekarang. padahal kamu memintanya sejak bulan ramadhan.. maklumlah penulis pemula)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 Kasus Korupsi yang Belum Terselesaikan Versi ICW

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki tantangan yang tidak mudah dalam pemberantasan korupsi. Nah, di bawah kepemimpinan pimpinan baru KPK nantinya, setidaknya ada 13 kasus korupsi yang harus dibereskan. Berikut ini 13 kasus korupsi yang belum terselesaikan versi Indonesia Corruption Watch: 1. Kasus korupsi bailout Bank Century 2. Suap cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI 3. Kasus Nazaruddin sepeti wisma atlet dan hambalang 4. Kasus mafia pajak yang berkaitan dengan Gayus Tambunan dan jejaring mafia yang lain 5. Rekening gendut jenderal Polri 6. Suap program Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Kemenakertrans 7. Korupsi hibah kereta api di Kemenhub 8. Korupsi pengadan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM 9. Korupsi sektor kehutanan khususnya di Pelalawan Riau 10. Kasus mafia anggaran berdasar laporan Wa Ode Nurhayati 11. Kasus korupsi sektor migas dan tambang yang melibatkan Freeport Newmont...

Memendam Rasa

Bertahun-tahun aku hidup dalam pendaman rasa yang membuat hatiku resah tak terperikan. Ketakutan jiwa kuanggap hanyalah halusinasi belaka. Akhirnya, kuobati dengan pikiran-pikiran positif bahwa akulah yang seharusnya introspeksi diri. Namun, akhirnya apa yang kupendam selama ini ternyata adalah kenyataan, bukan sekadar ilusi. Terkadang aku merasa kasihan kepada diriku sendiri. Aku telah tertipu bertahun-tahun oleh seseorang yang aku pikir bisa dipercayai. Mungkin inilah takdirku. Takdir yang harus aku terima sepahit apa pun. Walaupun aku masih geleng-geleng kepala, kok bisa berbuat seperti itu sambil terkesan. Lalu, datang kepadaku tanpa merasa bersalah. Senyum dan tertawa bersama keluarga kecilku. Tak pernah ada yang mengira penipuannya telah berlangsung ribuan hari. Bukan sehari dua hari, tetapi ribuan hari. Ckckckck... Tertidur ribuan hari sepertinya tak mungkin. Terlena dalam keadaan sadar, sepertinya seperti itu. Takdirku... Hari-hari berlalu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ...

Alone

Aku memutuskan untuk pergi berlayar. Kukembangkan perahu layarku. Dan kubiarkan angin pagi lautan menerpanya. Amboi. Indah nian. Tak pernah aku menikmati kesendirianku selama ini. Kehidupan kota terlalu kejam menyiksa batinku dengan segala gemerlapnya. Kini di pagi yang cerah ini aku berlayar di tengah lautan bebas menikmati sisa-sisa hidup yang mungkin tak lama lagi kunikmati. Inilah kebebasanku. Mencumbu alam, menikmati alam.