"Kriiing..kriiing" Sebuah panggilan telepon membuyarkan lamunanku. Tanpa nama. Entah siapa.
"Halo." Jawabku. "Ooh , tumben nelepon." Ujarku saat tahu jika ia yang meneleponku.
"Iya. Maafkan aku jika aku mengganggu waktumu." Ia diam sejenak. "Kamu lagi sibuk ya?" Tanyanya. Kutarik nafas sedalam-dalamnya.
"Halo." Jawabku. "Ooh , tumben nelepon." Ujarku saat tahu jika ia yang meneleponku.
"Iya. Maafkan aku jika aku mengganggu waktumu." Ia diam sejenak. "Kamu lagi sibuk ya?" Tanyanya. Kutarik nafas sedalam-dalamnya.
"Tidak." Jawabku singkat. Hembusan nafasnya terdengar jelas di seberang sana. Nafas berat.
Nampaknya ia sedang menghadapi masalah berat. Entahlah. Sudah hampir dua bulan aku tidak berkomunikasi lagi dengannya. Ia pergi meninggalkanku tanpa kata.
Pernah aku menanyakannya. Ia hanya menjawab lelah terus menerus menungguku tanpa kepastian. Aku pun tahu diri. Aku hanyalah laki-laki biasa yang sedang berproses.
Aku juga tak bisa memaksanya untuk terus bersamaku. Aku menghargai keputusannya. Ia punya pilihan. Dan ia berhak memilih untuk meninggalkanku.
Memang awalnya terasa perih, namun perlahan dengan kesibukanku di kantor aku bisa melupakannya. Berkali-kali kutancapkan kata dalam sanubariku, "Semua orang punya pilihan hidup. Dan ia punya hak untuk memilih pilihan hidup yang ia pilih."
Berkali-kali aku mengingatkan diriku untuk menghargai keputusannya. Berat terasa. Dan aku pun menyadari jika ia memang bukan untukku.
Dan saat purnama terangi bumi. Ia meneleponku. Entah apa yang ingin ia katakan padaku.
"Bismillah dulu sebelum bicara." Ujarku kepadanya, mencoba mencairkan kekakuan suasana.
"Iya." Jawabnya. "Aku tidak lama. Aku hanya ingin minta maaf saja kepadamu." Aku tersenyum pahit mendengar ucapan maafnya. Sekali lagi aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu punya pilihan-pilihan hidup seperti halnya diriku. Aku menghargai pilihanmu." Tuturku selembut mungkin.
"Iya aku tahu. Aku hanya ingin minta maaf saja." Terbersit di hatiku jika ia meminta maaf karena hendak menikah.
Nampaknya ia sedang menghadapi masalah berat. Entahlah. Sudah hampir dua bulan aku tidak berkomunikasi lagi dengannya. Ia pergi meninggalkanku tanpa kata.
Pernah aku menanyakannya. Ia hanya menjawab lelah terus menerus menungguku tanpa kepastian. Aku pun tahu diri. Aku hanyalah laki-laki biasa yang sedang berproses.
Aku juga tak bisa memaksanya untuk terus bersamaku. Aku menghargai keputusannya. Ia punya pilihan. Dan ia berhak memilih untuk meninggalkanku.
Memang awalnya terasa perih, namun perlahan dengan kesibukanku di kantor aku bisa melupakannya. Berkali-kali kutancapkan kata dalam sanubariku, "Semua orang punya pilihan hidup. Dan ia punya hak untuk memilih pilihan hidup yang ia pilih."
Berkali-kali aku mengingatkan diriku untuk menghargai keputusannya. Berat terasa. Dan aku pun menyadari jika ia memang bukan untukku.
Dan saat purnama terangi bumi. Ia meneleponku. Entah apa yang ingin ia katakan padaku.
"Bismillah dulu sebelum bicara." Ujarku kepadanya, mencoba mencairkan kekakuan suasana.
"Iya." Jawabnya. "Aku tidak lama. Aku hanya ingin minta maaf saja kepadamu." Aku tersenyum pahit mendengar ucapan maafnya. Sekali lagi aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu punya pilihan-pilihan hidup seperti halnya diriku. Aku menghargai pilihanmu." Tuturku selembut mungkin.
"Iya aku tahu. Aku hanya ingin minta maaf saja." Terbersit di hatiku jika ia meminta maaf karena hendak menikah.
"Kamu meminta maaf karena hendak menikah?" Tanyaku dengan senyuman kecut nan pahit. Ia diam agak lama. Ah, dugaanku benar rupanya.
"Itu salah satunya. Aku harap kamu memahami keputusanku." Jawabannya memanaskan hatiku. Harga diriku terusik. Aku tertawa sekeras mungkin.
"Lho!! Aku sedari dulu dan tadi juga sering mengatakan jika kamu ingin menikah terlebih dahulu ya silahkan. Kamu punya pilihan dan kamu berhak memilih pilihanmu itu." Nada suaraku meninggi. Ah, aku mulai emosi. Astaghfirulloh. Aku beristigfar berkali-kali.
"Kamu ikhlas jika aku menikah dengan laki-laki lain?" Lirih ia ucapkan kalimat di atas, membuatku teringat sejuta kenangan bersamanya.
Aku terdiam sejenak. Aku ingin mencerna ucapan lirihnya tadi. Ikhlas. Apakah aku ikhlas jika ia menikah dengan laki-laki lain? Hatiku masih terasa berat. Lemah nian jiwaku..
"Izinkan aku berpikir terlebih dahulu." Kataku singkat.
Kembali aku mencoba menganalisis mencari pembenaran "seharusnya" aku ikhlas jika ia menikah dengan pria lain.
Ya, iya benar. Aku harus ikhlas. Ini kesalahanku karena ketidakmampuanku meminang dirinya. Ia telah bersikap benar meninggalkanku yang tidak bisa memberikan kepastian masa depan. Seharusnya aku yang meminta maaf kepadanya.
Aku ikhlas. Aku mantapkan jiwaku sekali lagi. Kutarik nafas terlebih dahulu. Kini terasa segar dan lapang dadaku.
"Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu. Aku yang salah telah melepaskan kesempatan emas memiliki wanita terbaik sepertimu. Maafkan aku.." Ujarku lirih. Kembali segala kenangan bersamanya berlarian dalam anganku.
"Jadi, kamu mengikhlaskanku jika aku menikah dengan laki-laki lain?" Tanyanya. "Kamu tidak akan melupakanku bukan?" "Kamu janji tidak akan memutuskan silaturrahim?" Ah, nampaknya ia ragu.
"Iya. Aku janji." Jawabku singkat. "Aku berdoa untuk kebahagiaanmu. Semoga perjalanan hidupmu penuh dengan keberkahan."
Aku tersenyum puas nan bahagia. Alhamdulillah. Hidup adalah pilihan. Dan kita punya hak untuk memilih pilihan-pilihan hidup yang tersedia. Aku, kamu, kita semua punya hak untuk memilih.
( Terima kasih untuk seorang sahabat atas sharing kisah lirih sunyinya. aku tahu ini hanyalah cerita picisan yg mungkin kurang bisa melukiskan kepedihan hatimu... maafin juga baru bisa menuliskannya sekarang. padahal kamu memintanya sejak bulan ramadhan.. maklumlah penulis pemula)
"Itu salah satunya. Aku harap kamu memahami keputusanku." Jawabannya memanaskan hatiku. Harga diriku terusik. Aku tertawa sekeras mungkin.
"Lho!! Aku sedari dulu dan tadi juga sering mengatakan jika kamu ingin menikah terlebih dahulu ya silahkan. Kamu punya pilihan dan kamu berhak memilih pilihanmu itu." Nada suaraku meninggi. Ah, aku mulai emosi. Astaghfirulloh. Aku beristigfar berkali-kali.
"Kamu ikhlas jika aku menikah dengan laki-laki lain?" Lirih ia ucapkan kalimat di atas, membuatku teringat sejuta kenangan bersamanya.
Aku terdiam sejenak. Aku ingin mencerna ucapan lirihnya tadi. Ikhlas. Apakah aku ikhlas jika ia menikah dengan laki-laki lain? Hatiku masih terasa berat. Lemah nian jiwaku..
"Izinkan aku berpikir terlebih dahulu." Kataku singkat.
Kembali aku mencoba menganalisis mencari pembenaran "seharusnya" aku ikhlas jika ia menikah dengan pria lain.
Ya, iya benar. Aku harus ikhlas. Ini kesalahanku karena ketidakmampuanku meminang dirinya. Ia telah bersikap benar meninggalkanku yang tidak bisa memberikan kepastian masa depan. Seharusnya aku yang meminta maaf kepadanya.
Aku ikhlas. Aku mantapkan jiwaku sekali lagi. Kutarik nafas terlebih dahulu. Kini terasa segar dan lapang dadaku.
"Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu. Aku yang salah telah melepaskan kesempatan emas memiliki wanita terbaik sepertimu. Maafkan aku.." Ujarku lirih. Kembali segala kenangan bersamanya berlarian dalam anganku.
"Jadi, kamu mengikhlaskanku jika aku menikah dengan laki-laki lain?" Tanyanya. "Kamu tidak akan melupakanku bukan?" "Kamu janji tidak akan memutuskan silaturrahim?" Ah, nampaknya ia ragu.
"Iya. Aku janji." Jawabku singkat. "Aku berdoa untuk kebahagiaanmu. Semoga perjalanan hidupmu penuh dengan keberkahan."
Aku tersenyum puas nan bahagia. Alhamdulillah. Hidup adalah pilihan. Dan kita punya hak untuk memilih pilihan-pilihan hidup yang tersedia. Aku, kamu, kita semua punya hak untuk memilih.
( Terima kasih untuk seorang sahabat atas sharing kisah lirih sunyinya. aku tahu ini hanyalah cerita picisan yg mungkin kurang bisa melukiskan kepedihan hatimu... maafin juga baru bisa menuliskannya sekarang. padahal kamu memintanya sejak bulan ramadhan.. maklumlah penulis pemula)
Komentar