Saat aku memilih hidup di
pengasingan, aku sudah tahu konsekuensi yang akan kuterima. Saat kuutarakan
keinginanku caci maki dan hinaan kuterima dari kakang pangeran dan paman prabu.
Aku hanya bisa menarik nafas perih dan mencoba menghiasi wajahku dengan senyuman.
Sungguh tragis. Hanya karena
pilihan hatiku aku harus menerima takdir ini. Ah biarlah, tidak masalah bagiku
gelar pangeran kesultanan berikut sang tahtanya direnggut dariku. Tidak
masalah. Asal aku bias hidup bersama kamu wahai Tunggadewi.
Tahtaku tidak sebanding dengan
kebahagiaan yang kurasakan saat hidup bersamamu. Maafkan keluargaku yang
terlalu kolot dan feodal pemikirannya. Mereka hanyalah orang-orang yang tidak
faham akan kebebasan. Mereka terikat dengan adat istiadat yang kaku.
Tidak. Seujung rambut pun aku
tidak akan pernah meninggalkanmu. Biarlah akan kuhadapi pengusiran ini dengan
senyuman asal ad dirimu di sampingku.
Kutatap bundaku, Ratu Kencana
Wangi. Tatapannya memerihkan jiwaku. Aku tahu ia bersedih dengan keputusanku.
“Maafkan ananda, Bunda. Ananda ingin hidup bahagia dengan pilihan ananda.”
“Ananda pangeran, bunda tidak tahu
apa yang ada dalam pikiran ananda. Bunda sudah tahu siapa itu Tunggadewi. Ia
hanyalah seorang gadis biasa, gadis desa yang hanya ingin menguasai dirimu.” Suara
bunda ratu meninggi, nampak marah kepadaku.
“Bunda, ananda mohon bunda jangan
mendengarkan fitnah-fitnah tentang Tunggadewi. Ia seorang gadis terpelajar. Itu
yang membedakannya dengan para putri-putri yang lain. Ananda harap bunda
mengerti dan menerima pilihan hati ananda.” Pintaku memelas.
Bunda ratu terdiam sejenak. Ia
menarik nafas dalam-dalam. “Baikah. Jika itu pilihan ananda, bunda merestui.
Tunggu sebentar, ada yang ingin bunda titipkan kepadamu.” Bunda ratu pun
melangkah cepat menuju keputrenan. Alhamdulillah. Restu bunda ratu yang paling
utama bagiku.
Terlihat bunda ratu berjalan
tergesa menujuku. “Ananda pengeran, cepat ambil ini. Ini adalah warisan ayah
prabu. Bunda harap secepatnya ananda segera meninggalkan istana dan keluar kota raja. Kakang
pangeran marah besar kepadamu. Ia akan menangkapmu dan membunuh Tunggadewi.
Jagalah warisan ayahmu ini. Cepat pergi lewat belakang keputrenan! Bunda
mencintaimu.”
Air mataku mengalir deras saat
melihat bunda ratu menangisi diriku. Segera aku menyelinap melalui pintu
belakang keputrenan. Kubuka bungkusan pemberian bunda ratu. Hah! Aku kaget
tiada terkira. Ternyata yang diberikan bunda ratu adalah pedang pusaka
kesultanan. Pedang Mustika Wangi. Dan sebuah kitab kumal nan tua. Kubaca
sekilas. “Ilmu Pedang mustika Wangi.” Bahagia bercampur kaget menerima hadiah
bunda ratu ini.
Aku harus segera menemui
Tunggadewi. Bahaya mengintai kami berdua…. To be continued…
(beginilah klo lagi kacau.. ngelantur kemana-mana kagak jelas..hahahaha.. dimaklum y tanpa edit soalnya..)
Komentar